Pele Memuji: Nomor Lima Pemain Terbaik

Jumat 27-06-2014,18:30 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Di masa tuanya saat ini Ujang sering berpindah-pindah rumah, dari rumah anaknya yang satu ke rumah anaknya yang lain.

Mengapa berpindah-pindah? Menurut Ujang, itu dilakukan semata-mata untuk memudahkan dirinya saat berobat. Di Medan dia bisa berobat ke RS Pertamina di kota itu. Semasa masih bekerja, dia berdomisili di kompleks Pertamina di Langkat, Medan.

Kalau tinggal di Cikampek, Jakarta, jarak yang jauh dan macet dari rumah membuat dia kelelahan jika harus ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina). Ujang mengaku tak lagi bisa berdiri dan duduk terlalu lama. Jika dipaksakan, kakinya akan bengkak sebagai imbas penyakitnya.

Ujang merasa apa yang diberikannya untuk timnas saat itu seperti tak ada harganya saat ini. Pemerintah dan PSSI tak pernah menghiraukan lagi. Jangankan memberikan bantuan pengobatan atau lainnya, sekadar mengingat dia saja, pemerintah dan PSSI menurutnya sudah enggan.

Itu terbukti, misalnya, dia hampir tidak pernah diundang bila PSSI ulang tahun. Padahal, juniornya seperti Sutan Harhara pernah dilihatnya mendapatkan penghargaan dan dipercaya PSSI. Bukan cuma diingat dan terus dilibatkan, tapi juga dihargai dengan mendapatkan pensiun sebagai mantan atlet timnas seumur hidup.

”Kadang saya iri dan merasa kok tidak dihargai, ya. Tapi, saya nggak mau menuntut. Kayaknya PSSI ataupun pemerintah kurang tertib dalam administrasi. Mungkin tidak punya berkas lengkap sehingga saya terlupakan,” tutur lelaki kelahiran 2 Maret 1945 tersebut.

Dengan pandangan nanar, dia menceritakan bagaimana dirinya saat masih aktif pernah bermain melawan Pele, legenda sepak bola dunia asal Brasil. Meski kalah 3-2 melawan Santos, klub Pele, Ujang sempat mendapat pujian dari sang maestro itu.

”Pemain nomor 5 pemain terbaik,” kata Ujang menirukan pujian Pele dan ulasan-ulasan di media pada 1972.

Saat itu menjadi pemain timnas sangatlah sulit. Seleksinya tak mudah. Tapi, bila bisa lolos seleksi, bangganya luar biasa. Apalagi menjadi kapten timnas menggantikan Soetjipto Soentoro, seniornya.

”Tidak mudah menjadi kapten timnas. Pertimbangan untuk menentukan sang kapten pun cukup lama. Pokoknya, jadi kapten timnas dulu dan sekarang berbeda. Dulu rasanya sakral sekali,” tutur pemain yang memegang kapten timnas sejak 1970 sampai 1974 itu.

Namun, rasa bangga, totalitas, dan usaha kerasnya di timnas sekarang seperti terlupakan. Padahal, Ujang sejatinya masih ingin berkecimpung di sepak bola dan turut membantu pembinanaan sepak bola usia dini di Indonesia.

Terbukti, pascapensiun pada awal 2000, dia sempat melatih anak-anak di Medan, tempat tinggalnya selama bekerja di sana. Pada 2010, dia memilih pulang ke kampung halaman di Cikampek dan mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Anwar Ujang.

Saking semangat dan rasa cintanya kepada sepak bola, kakek 15 cucu itu ingin mencetak pemain hebat dari daerahnya. Sebab, beberapa tahun belakangan jarang lahir pemain dari daerahnya.

Bermodal uang pribadi dan bantuan seorang anak didiknya, dia menjalankan sekolah sepak bola itu. Muridnya puluhan dan sudah berlangsung dua tahun. Tapi, pada akhir 2013, dia terpaksa harus membubarkan SSB-nya.

Itu disebabkan penyakit dan dana operasi SSB yang tidak lagi mencukupi. Selama ini pemain yang lahir dari klub Persika Karawang itu tidak pernah menarik iuran dari siswanya seperti SSB pada umumnya. Sebagian murid biasanya memberikan iuran semampunya, tapi lebih banyak yang tidak membayar.

Menurut Ujang, kebanyakan pemain potensial, yang memiliki bakat alam dan semangat tinggi, berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi.

Tags :
Kategori :

Terkait