\"Setiap Desa dan Kelurahan ada Jenang Kutei, pengurus Badan Musyawarah Adat (BMA), mereka wajib melaksanakan ritual cuci kampung kalau ditemukan terjadi hubungan biologis di luar nikah. Jika tidak, hal ini jelas bertentangan dengan adat,\" tegas Ketua BMA Kabupaten RL M Ra\'uf kepada Bengkulu Ekspress, Jum\'at (7/12).
Dijelaskan M Ra\'uf, pelaksanakan ritual cuci kampung dilaksanakan setelah wanita yang mengandung janin dari hubungan di luar nikah melahirkan anak yang dikandungnya. Beberapa perlengkapan cuci kampung tersebut diantaranya seekor kambing yang disembelih kemudian darahnya ditampung untuk dipercikkan di sudut kampung, rumah tokoh adat, tokoh agama, pengkat desa atau kelurahan.
Perlengkapan lainnya, berupa punjung mentah, ayam biring berwarna merah berkaki kuning, empat ria atau denda adat sebesar Rp 1,2 juta, dimana satu ria saat ini bernilai Rp 300 ribu. Alat tepung setawar, beras kunyit, 100 batang lidi, kemudian dilakukan ritual dengan mengarak dua orang pelaku zina keliling kampung, setelah sebelumnya dicambuk dengan batang lidi pohon enau atau lidi pohon kelapa. \"Sebenarnya pada zaman dahulu hukuman zina ini lebih berat lagi. Pelaku zina diharuskan membawa air menggunakan gigi dari sumber air menuju pintu masjid sebanyak 9 kali. Namun sanksi itu tidak diterapkan pada zaman sekarang karena alasan aturan hak azasi manusia. Tetapi hukuman itu memang efektif menangkal peristiwa zina terulang lagi. Jika tidak dilaksanakan, jelas tidak akan ada lagi yang malu-malu atau takut melakukan hubungan diluar nikah yang haram itu. Lalu siapa lagi yang akan menegakkan aturan adat dan aturan agama ini,\" tegas Ra\'uf.
Di bagian lain, Ra\'uf mengakui, ada cukup banyak laporan masyarakat terkait fungsi BMA dan Jenang Kutei yang melalaikan ritual hukum adat cuci kampung tersebut. \"Saya tegaskan ritual cuci kampung ini wajib. Jika kembali ditemukan ada hubungan biologis laki-laki dan perempuan diluar nikah harus dilakukan ritual itu. Jika BMA dan Jenang Kutei tidak melaksanakannya, makan hukumannya dua kali lipat dari orang biasa,\" kata Ra\'uf.
Dalam istilah adat disebutkan, orang yang paham adat yang menjadi panutan masyarakat, namun tidak melaksanakan hukum adat seperti ular nawar biso, piaring bobos, piawang pecoam timbo. \"Artinya seperti ular yang menawar bisanya sendiri, paham adat tapi tidak melaksanakan, hukumannya harus dua kali lipat dari orang biasa. Jika ditemukan yang demikian, tolong laporkan kepada kami,\" ujar Ra\'uf.
Sementara itu, Lurah Air Rambai Ahmad Jadil kepada Bengkulu Ekspress mengaku, sudah 3 kali melaksanakan ritual cuci kampung sejak tahun 2007 hingga 2012. \"Tidak dilaksanakan ritual cuci kampung saja masih banyak yang melanggar hukum adat dan agama, apalagi kalau hukum adat cuci kampung ini tidak dilaksanakan,\" tegasnya.
Kamis malam (6/12), Jadil mengaku kalau pihaknya telah melaksanakan ritual pengakuan salah, akibat hubungan biologis diluar nikah yang dilakukan dua remaja di wilayahnya hingga menyebabkan salah seorang wanita warga Air Rambai mengandung. \"Laki-lakinya asal Lebong, perempuannya warga kita. Mereka pacaran sudah melebihi batas, hingga sang wanita hamil bahkan usia kandungan tua. Setelah anak dalam kandungan perempuan itu lahir, kita wajibkan dilakukan cuci kampung, kemudian kedua pelaku zina kita nikahkan secara agama,\" terang Jadil.
Peristiwa ini, sambung Jadil, harusnya menjadi peringatan bagi orang tua untuk mengawasi pergaulan anak-anak mereka yang mendekatkan diri pada perzinahan dan dosa. \"Kalau diarak keliling kampung, karena perbuatan zina lebih berat hukumannya dari penjara. Malu dan sakit harus dijalani sebagai sanksi atas pelanggaran hukum adat dan agama,\" tegas lurah. (999)