Hapus Dosa Setahun hingga Tradisi Lepas Burung
Bau dupa begitu menyengat diterangi nyala lilin. Tak ketinggalan pernak pernik lampion menyemarakan suasana. Makanan pun memenuhi ruangan; mulai buah-buahan hingga kue keranjang. Tampak para jemaah melakukan penghormatan dewa dengan mengangkat dupa. Begitulah suasana yang terlihat di Klenteng Air Suci di Jalan Jenggalu, Lingkar Barat dan Vihara Buddhayana Kampung Cina. Kedua tempat ibadah ini menjadi pusat perayaan Imlek. Asal Muasal peringatan Tahun Baru Imlek ini pun mempunyai kisah tersendiri. Konon pada dahulu kala pada tepat setiap musim semi tiba di akhir musim dingin masyarakat sering diganggu binatang buas yang bernama Nian. Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung).
Warga Tionghoa yang beribadah di Kleteng Air Suci tidak secara berjamaah atau serentak, melainkan dilakukan sendiri. Bagi yang telah selesai langsung pulang. Berbeda di Vihara Buddhayana yang berjamaah. Ketua Panitia Sembahyang di Klenteng Air Suci, Ng Husin yang biasa dipanggil Aseng mengatakan perbedaan itu lantaran lokasi klenteng sangat kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk mengumpulkan semua keturunan Tionghoa pada waktu yang bersamaan. Para jemaah datang bersama kelurganya dan menjalani sembahyang. Waktu sembahyang mereka pun tidak terlalu lama, lima menit dengan cara memberikan persembahan kepada patung Dewa yang diyakini dapat menghapus dosa-dosa yang mereka lakukan selama 1 tahun. Setelah memberikan persembahan, mereka pun tampak keluar ruangan sambil membawa kartas sembahyang untuk dibakar. Menurut Aseng pembakaran kertas sembahyang ini sebagai simbol membakar segala dosa, sehingga setelah membakar kertas sembahyang tersebut mereka tidak lagi memiliki dosa. Sesaat setelah membakar kertas sembahyang, mereka pun melakukan ritual lepas burung pipit yang telah disediakan oleh penjualnya di arena Klenteng. Aseng mengatakan, pelepasan burung pipit tersebut tidak ditentukan jumlahnya. Artinya jemaah bebas mau melepaskan berapa sesuai dengan kemampunnya membeli burung, dan sifatnya pun tidak diwajibkan. \"Melepas burung pipit ini sebagai ungkapan rasa syukur kami kepada para dewa atas rejeki yang diberikan, dan ini sebagai doa kami agar ke depannya diberika rejeki yang melimpah, dijauhkan dari segala musibah dan dewa senantiasa menjaga kami,\" ujar Aseng.
Sementara itu salah seorang pengurus Klenteng, Huang King Chok atau dikenal dengan Akong mengatakan selain melakukan sembahyang, jemaah juga memberikan sedekah berupa sesajen makanan yang biasa dimakan jemaah tersebut di rumahnya masing-masing, seperti buah-buahan dan kue keranjang yang digoreng dengan telur. \"Makanan tersebut akan dimakan secara bersama-sama, jika tidak habis diberikan kepada anak-anak disekitar Klenteng,\" beber Akong. Di Vihara sejak subuh, Keluarga Besar Buddhayana Indonesia (KBBI) Bengkulu telah menggelar pembacaan Paritta Suci dengan bahasa sansekerta. Kemudian dilakukan pembacaan Liam Kheng Sutera yang menggunakan bahasa mandarin. Dijelaskan Romo Vihara, Tan Sun Lie, pada saat hari raya Imlek, masyarakat biasanya berkunjung ke rumah-rumah untuk bersilaturahmi. Tradisi angpau juga tetap dilakukan.\"Angpau berarti suatu tradisi berbagi kebahagian, keberuntungan, dan cinta kasih.Selain itu juga dipercaya agar lancar jodoh bagi yang lajang,\" ucapnya. (**)