BENGKULU, BE – Jika berkunjung ke lokasi wisata Pantai Pasar Bawah, Bengkulu Selatan, Bengkulu, kemudian mengarahkan pandangan mata ke tepi laut, maka sekira 15 meter dari bibir pantai kita akan melihat 1 bangunan persegi berwarna kehitam-hitaman yang terlihat menyembul di permukaan air laut. Itu adalah bunker yang dibangun oleh penjajah Jepang sekira tahun 1942 hingga 1945, saat tentara Negara Matahari Terbit itu masuk ke Bengkulu Selatan.
Menurut Rasyidi (54), yang menghabiskan masa kecilnya di Bengkulu Selatan, sekira tahun 1970-an, lokasi bunker itu masih berada di daratan. “Waktu itu sekira tahun 1970-an, saya masih ingat jika bunker itu masih di daratan. Jaraknya waktu itu sekitar 15 meter dari bibir pantai,” ujar Rasyidi yang akbar disapa Cik Didi ini ketika dihubungi BE via telepon, Selasa (25/2).
Pasa masa ia kecil, kenang cik Didi, selain posisi bunker masih di daratan, sekira 20 meter dari garis pantai saat ini, masih merupakan lokasi persawahan dan ada juga beberapa rumah. “Namun kini semuanya telah sirna karena menjadi lautan,” ujarnya.
Cik Didi sendiri mengaku tidak mengetahui apa penyebab pasti tenggelamnya daratan termasuk bunker di tanah kelahirannya itu. Setahu dia disebabkan abrasi. Mengenai meningkatnya permukaan air laut itu karena dampak pemanasan global, dia pun mengaku tak tahu.
Terpisah, Ketua Tim Percepatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu, Dr Gunggung Senoaji SHut MP mengatakan, abrasi pantai merupakan salah satu dampak pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim di muka bumi. Salah satunya kenaikan permukaan air laut. Di Provinsi Bengkulu, dengan garis pantai lebih dari 525 km mulai dari pesisir barat Bengkulu yakni Kabupaten Mukomuko hingga ke pesisir timur Kabupaten Kaur, kenaikan air laut sejak beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan.
Dia memperkirakan, dalam 10 tahun terakhir abrasi pantai di pesisir Provinsi Bengkulu mencapai sekira 2 sampai 3 meter. “Salah satu contohnya kerusakan jalan di pesisir pantai Mukomuko. Pada tahun 1998 ada jalan yang tergerus abrasi, kemudian dipindahkan ke lokasi yang tidak jauh dari tempat abrasi sebelumnya. Namun pada tahun 2013, abrasi pantai telah merusak jalan yang dibangun tahun 1998,” ujar Gunggung saat menjadi pembicara dalam lokakarya wartawan Meliput Perubahan Iklim yang digelar Lembaga Pers Dr Soetomo bekerjasama dengan Kedutaan Besar Norwegia di Hotel Santika, Kota Bengkulu,Selasa (25/2).
Lokasi jalan yang amblas yang dimaksud Gunggung itu adalah jalan lintas barat Bengkulu di Desa Urai, Kabupaten Mukomuko. Selain di Kabupaten Mukomuko, Gunggung juga memperlihatkan foto tiang jembatan yang berada di daerah Maras, Kabupaten Seluma. Saat ini lokasi tiang itu sudah berada di tengah laut, atau sekitar 10 meter dari daratan. “Begitu juga dengan pulau-pulau kecil di Pulau Enggano. Sekitar tahun 1990 ada namanya Pulau Satu yang masih bisa digarap warga untuk bercocok tanam. Namun ditahun 2007 sudah tinggal hamparan pasir,” jelas alumnus S1 Fakultas Kehutahnan Institut Pertanian Bogor ini.
Ditambahkannya, meningkatnya permukaan air laut itu karena pemanasan global yang dimulai sekitar tahun 1880 atau titik awalnya Revolusi Industri di Benua Eropa. “Waktu itu terjadi eksploitasi sumber daya alam dan penggunaan bahan bakar besar-besaran, sehingga terjadilah istilah gas rumah kaca, dimana suhu bumi yang berada di dalam lapisan atmosfer meningkat akibat gas ini mampu menyerap radiasi matahari,” ujar alumnus S1 Fakultas Kehutanan IPB tersebut. Guna mengurangi pemanasan global itu, menurut Gungung, harus ada peran semua pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat. Diantaranya melestarikan kawasan hutan bakau, serta menanam tanaman yang bisa bertahan hidup di bibir pantai seperti cemara laut.(911)