Bung Karno Dibuang ke Bengkulu

Senin 03-02-2014,11:07 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Bengkulu Doeloe dan Bengkulu Kini (1)

H. Kaharuddin Thahir, BSW

(Pengamat Sosial Politik dan Agama)

DENGAN segala kerendahan hati, secara fisik material, finansial khususnya periode reformasi saat ini jauh lebih menguntungkan dibanding periode masa (Periode Orde Lama). Sebagai konsekuensi logisnya secara fisik pembangunan secara lahiriyah nampak lebih semarak saat ini. Tapi secara hakiki Bengkulu (baca eks. Keresidenan) Bengkulu jauh lebih terkenal bahkan populer pada masa Orde Lama. Pada periode Orde Lama Bengkulu secara nasional mampu memiliki, tepatnya mendistribusi dan memiliki asset empat orang Menteri yaitu  Ir Indra Tjaya,  Prof. Dr. Mr. Hazairin,  Mohamad Hasan, Dr. Oei Tjoe tat. Selain itu, juga enam orang duta besar yaitu  Prof. Dr Siddik,  Mr. Mohamad Amin Azharie,  Mohamad Ali Chanafiah,  Hanafi, Asmara Hadi,  Ibrahim Isa. Dua Perwira TNI AD yang mendapat kesempatan memasuki Pendidikan Tinggi Militer di Amerika Serikat masing-masing Nawawi Manaf dan Zakaria Kamidan pernah mendapat kepercayaan menjadi Panglima dan Kepala Staff  TT II Sriwijaya, Kolonel Barlian dan Mayor Nawawi Manaf. Sedangkan Periode II dekade akhir-akhir ini untuk mendapatkan esselon I saja Bengkulu tidak bisa, kecuali ada seorang Semenda yaitu Dr. Hamidah Ali Syahbana alias anak menantu Prof. Sutan Takdir Ali Syahbana yang dipercaya sebagai Menteri Ketua Bappenas. Dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 1-10 Februari 2014 ini pantas peristiwa di atas mendapat perhatian media nasional baik elektronik maupun media cetak. Hal ini penting diketahui bahwa sejak lama Bengkulu sudah dikenal dan terkenal yaitu sejak jaman penjajahan baik Inggris maupun Belanda. Pada masa pembungan Bung Karno, pepatah mengatakan \"sekali berdayung dua tiga pulau terlampau\". Kata kias di atas adalah seperti dimaklumi bahwa Kota Bengkulu adalah bagi Inggris yang berivalitas dengan Belanda dibuang (internir) oleh Belanda dan telah ditangkap pada tanggal 31 Agustus di Batavia sehabis rapat di rumah M. Husni Thamrin dia langsung dijebloskan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Selanjutnya Gubernur Jenderal (de Jonge) dengan tangan besi  menyingkirkan Bung Karno ke Endeh Flores. Seperti dimaklumi faktor utama atau pertimbangan penjajah dalam menyingkirkan pejuang besar seperti Bung Karno adalah dengan mempertimbangkan daerah atau lokasi tempat pembuangan yang dapat pejuang tersebut mati kutu, tidak bisa leluasa bergerak dan banyak penyakit. Untung saja pembuangan pejuang besar seperti Bung Karno mendapat pengawasan langsung dari Bapak M. Husni Thamrin. Seperti dimaklumi semua setiap pembuangan Bung Karno dipastikan ditempat sarang penyakit terutama malaria. Hal ini oleh Bapak M. Husni Thamrin yang menjabat wakil ketua Volksraad parlemen Jajahan dan Ketua Fraksi Nasional mempersoalkan hal ini ke Parlemen Jajahan (buku Bung Karno, hal. 2, M. Ali Chanafiah) mengancam Pemerintah Kolonial Belanda yang harus bertanggung jawab. Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mencari tempat pembuangan baru bagi Bung Karno dengan memilih Kota Bengkulu. Mengapa Kota Bengkulu? Dari buku berjudul “Bung Karno” tulisan M. Ali Chanafiah, hal. 2 Loging Tobias, Asisten Residen Belanda menulis dalam laporan umumnya tahun 1874 mengemukakan pada Pemerintah Inggris di Bengkulu terdapat beberapa keluarga terkemuka dari tempat-tempat lain. Terutama dari Jawa, Madura, dan Sulawesi. Sampai begitu jauh mereka berhasil menciptakan kelas tersendiri. Selanjutnya di bawah Wakil Gubernur Joseph Harlock (1746-1752) datang pula di Bengkulu Raden Tumenggung Wirahadi Ningrat dan adiknya Raden Sang Nata, putra-putra Cakraningrat Penembahan Bangkalan. Mereka minta suaka politik karena bapaknya ditawan Belanda lalu dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika. Dengan surat rahasia Pemerintah Hindia Belanda tanggal 02 Desember 1833, Sentot Alibasyah dibuang ke Bengkulu. Dia bertempat tinggal di Jitra dekat kuburan Inggris dan meninggal tanggal 17 April 1855, makamnya terawat baik sampai saat ini dan terdapat banyak kunjungan. Makamnya terletak di Kelurahan Bajak kota Bengkulu. Pada waktu itu turut pula diasingkan ke Bengkulu Pangeran Kusumanegaran dan Tumenggung Surajinggala semua yang dianggap terlibat Perang Diponegoro. Kemudian pada tahun 1883 dua belas bangsawan Yogyakarta dibawa ke Bengkulu yang ditunjuk sebagai tempat tinggal mereka selanjutnya. Diantaranya terdapat kakek penulis naskah ini (M. Ali Chanafiah). Selanjutnya dengan keputusan tanggal 3 April 1908 nomor 31 Pemerintah Kolonial menginternir Ida Bagus Arka dari Bali ke Bengkulu pula. Kalau di tempat-tempat pembuangan selain kota Bengkulu, Bung Karno termasuk keluarga yang mengikuti, selain khawatir dengan daerah pengasingan yang penuh bahaya penyakit dan benar-benar merasa diisolasi dari masyarakat dan orang yang banyak perhatian dalam soal sosial kemasyarakatan dan merasa amat jauh dari pusat pergerakan seperti Ibukota Jakarta, lain halnya dengan Kota Bengkulu. Disini (kota Bengkulu) disamping dekat dengan Ibukota (Batavia) Bengkulu memberi kesempatan Bung Karno mendalami berbagai ilmu pengetahuan karena di Kota Bengkulu terdapat bibliotik, bioskop, tidak ada penerangan listrik, air ledeng, pokoknya pengasingan di Bengkulu merupakan semacam “ablessing indisguise” (rahmat terselubung). Betapa tidak, kalau Direktur Kompeni di London merasa khawatir ketenangannya. Sebabnya ialah bahwa Bengkulu telah menjadi kuburan bagi sejumlah besar pegawai Kompeni karena serangan malaria. Bagi Bung Karno pembuangan di Bengkulu justru menimbulkan optimisme. Kota Bengkulu sebagai Ibukota Keresidenan memberikan kesempatan melanjutkan aktifitas yang sekaligus mewujudkan obsesinya (cita-cita yang diidam-idamkan). Perlu diketahui oleh seorang ulama besar kenamaan dalam bukunya yang berjudul: “40 Masalah Agama Jilid II” bahwa Bung Karno dianggap salah seorang tokoh pembaharu agama Islam dan merupakan salah seorang tokoh modernis agama diantara tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti: 1. Ibnu Taimiyah, 2. Mohammad bin Abdul Wahab, 3. Sayid Jamaluddin Al Afghan, 4. Sir Sayid Ahmad Khan, 5. Syeikh Muhammad Abduh, 6. Mirzah Ghulam Ahmad, 7. Mustafa Kamal Attaturk, 8. Dr. Ir. Soekarno, dan untuk lerbih jelasnya nomor 8 ini baca buku berjudul “Bung Karno Seorang Muslim yang Teguh dan Tangguh”, karangan H. Kaharuddin Thahir, BSW. Bung Karno seolah-olah disejajarkan dengan tokoh pembaru agama karena berkat ketekunan beliau mempelajari agama Islam selama dalam pembuangan di Endeh Flores. Hikmah Bung Karno di internir di Endeh disamping beliau harus menghadapi resiko bahaya penyakit malaria terutama bagi anggota keluarga yang secara fisik tidak sekuat fisik Bung Karno: peristiwa ini dikeluhkan Bung Karno hingga beliau berucap: Dalam segala hal pulau Flores yang jauh itu adalah “akhir dunia bagi saya”, keluh Bung Karno dalam autobiografinya seperti yang diceritakan pada Cindy Adams. Endeh digambarnya sebagai kampung nelayan berpenduduk 5000 orang. Disana tidak ada bioskop, tidak ada bibliotik (buku Bung Karno, hal. 10) disamping faktor-faktor negatif lainnya. Di pembuangan Kota Bengkulu masih dalam kaitan Bengkulu seperti diketahui dikenal salah satu daerah malaria di Indonesia, pembesar Belanda bernama Benyamin Bloom dan Joshua Charlton, Oktober 1685 (Bung Karno, hal. 8, M. Ali Chanafiah). Namun kendati Bung Karno dari suatu tempat pembuangan ke tempat pembuangan yang lain tidaklah dapat diragukan bahwa kota Bengkulu jauh lebih baik daripada tempat lain khususnya Endeh walaupun sama-sama sarang malaria. Bengkulu ibukota keresidenan walaupun status kota kecil dengan populasi penduduk sekitar 30.000 (tiga puluh ribu) orang, namun ada bioskop, perpustakaan, ada penerangan listrik, dan mempunyai air ledeng. Kelebihan lain yang tidak bisa dianggap remeh adalah lokasinya yang dekat dari Batavia, pusat dari segala macam kegiatan dan gerakan serta kegiatan yang bersifat politik, ekonomi, sosial yang bersifat kemasyarakatan maupun kebudayaan. Di Bengkulu Bung Karno sungguh tidak akan kesepian dari suasana pergerakan. Sebab apa yang terjadi di Batavia, imbasnya cepat sampai di Bengkulu meskipun begitu perlu diakui bahwa dia tidak lagi merupakan ajakan gerakan politik yang berarti seperti di jaman emasnya Sarikat Islam pada dekade kedua abad silam. Sarikat Islam sering membuat pemerintah jajahan pusing kepala di masa Residen Westenenk itu rakyat Marga Andalas pernah memboikot dan melakukan “bekendienst” gawe raja, semacam kerja paksa untuk memperbaiki jalan sebagai akibat “hasutan” (provokasi) Sarikat Islam. Untunglah peristiwa ini dapat diatasi secara bijaksana oleh Westenenk menurut Prof. Dr. HA. Sidik dalam bukunya “Sejarah Bengkulu”. (bersambung)

Tags :
Kategori :

Terkait