Namun untuk mewujudkan hal itu, muslim di Indonesia harus bersatu padu. Perselisihan pendapat dalam mazhab jangan dibesar-besarkan. Sebaliknya, persamaan yang jauh lebih banyak yang harus ditonjolkan. Dua kubu terbesar dalam Islam, Sunni-Syiah harus menciptakan suasana yang saling menghargai dan menghilangkan fanatisme. Tokoh-tokoh panutan pada kedua mazhab tersebut yang semestinya dijadikan acuan dalam menilai ajaran kedua mazhab, bukannya dari kelompok-kelompok radikal atau sempalan.
Demikian menjadi poin penting yang disampaikan para pemateri dalam Seminar Internasional Persatuan Umat Islam Dunia, di Auditorium Al Jibra, Universitas Muslim Indonesia, Senin (5/11). Para pemateri yang hadir adalah Wakil Menteri Agama RI Prof Dr Nasaruddin Umar yang sekaligus membuka seminar, Sekretaris Jenderal Majma\" Taqrib Baynal Madzahib (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab) Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri, Ulama Sunni yang menjadi Penasihat Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad, Syekh Maulawi Ishak Madani, Ketua MUI Pusat Prof Dr KH Umar Shihab, Ketua Dewan Pakar dan Cendikiawan Muslim Dunia Prof Dr KH Hasyim Muzadi serta Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Din Syamsuddin. Seminar tersebut turut dihadiri Duta Besar Republik Islam Iran Mahmoud Farazandeh beserta sejumlah atasenya, tokoh-tokoh Islam di Sulsel dan para aktivis muslim Sunni mau pun Syiah.
Rektor UMI, Prof Dr Masrurah Mukhtar di awal seminar berharap seminar itu akan menjadi momentum untuk merekatkan kembali kelompok-kelompok Islam yang selama ini berselisih. Jika umat Islam sudah bersatu, maka cita-cita tertinggi Islam sebagai Rahmatan lil Alamin bakal terwujud. \"Saya kira kita bisa saling mendiskusikan perbedaan dan merumuskan etika dalam menghargai pendapat,\" katanya.
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi dan kekuatan dahsyat untuk mengembalikan kejayaan Islam, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Namun dia mengingatkan kekuatan itu tidak akan pernah terwujud jika sesama muslim sendiri masih berkubang dalam suasana saling menyalahkan dan mengkafirkan.
Umar Shihab juga menyerukan pentingnya kelompok-kelompok Islam yang berbeda untuk saling mempelajari khazanah mazhab masing-masing. Menurutnya, hanya dengan saling belajar, maka akan tercipta saling memahami.
\"Ada dua masalah yang menyebabkan Islam terpecah, yakni kebodohan dan fanatisme. Itu yang harus kita lawan,\" kata kakak kandung Prof Dr KH Quraish Shihab ini.
Umar juga meluruskan bahwa MUI pusat pernah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah ajaran sesat. Dia mengakui pada tahun 1984 lalu pernah ada rekomendasi dari MUI untuk mewaspadai ajaran Syiah karena berbeda dengan Sunni yang dianut mayoritas muslim Indonesia. Tetapi rekomendasi itu bukan fatwa sesat. Itu pun rekomendasi tersebut sudah dianggap sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini.
Dia mengingatkan, ulama-ulama sedunia sudah sejak lama dan masih terus menggagas persatuan Sunni-Syiah. Diantara yang paling terkenal adalah Amman Message di mana Indonesia ikut terlibat dalam upaya itu. \"Kalau Syiah sesat, maka seminar semacam ini pasti akan dilarang (oleh negara),\" tegasnya.
Syekh Maulawi Ishak Madani mengatakan dalam Mazhab Sunni dan mazhab Syiah masih terdapat oknum atau bahkan kelompok yang seringkali mengklaim kebenaran mazhabnya. Namun yang disayangkan, pendapat dari kelompok ini yang seringkali dijadikan sandaran untuk menilai sebuah mazhab.
Dia mencontohkan, Syiah seringkali dituding memiliki ajaran yang mencaci sahabat Nabi saw atau memiliki Alquran yang berbeda. Syekh Maulawi yang merupakan Ulama Sunni di Iran ini pun mengatakan semua itu hanya propaganda dari orang-orang yang disebut Ahmaq (bodoh).
\"Iran adalah representasi negara Syiah terbesar di dunia. Tapi 30 tahun saya tinggal di sana sebagai Sunni, tak pernah sekali pun saya melihat televisi atau mendengar radio yang menyebarkan kebencian terhadap Sahabat Nabi Muhammad saw. Dan kami (Sunni) diperlakukan secara terhormat oleh mayoritas Syiah di sana,\" kuncinya.
Sementara Din Syamsuddin mendorong perlunya dialog antara mazhab. Pasalnya, persamaan di dalam kelompok-kelompok Islam sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan perbedaannya.
Kebangkitan Islam
Adapun Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri dan Hasyim Muzadi lebih menggambarkan situasi dunia Islam dewasa ini. Ali Taskhiri yang juga Penasihat Pemimpin Spritual Iran, Ayatullah Al Udzma Ali Khamanei mengatakan saat ini telah terjadi gejala kebangkitan Islam di negara-negara berpenduduk Muslim.
Menurutnya, era kebangkitan Islam sudah berada di depan mata. Masyarakat muslim di dunia juga sudah menyadari bahwa baratlah yang selama ini berperan dalam memecah belah Islam, baik dari luar mau pun dari dalam. \"Tujuan mereka memisahkan kita, dan memisahkan urusan agama dan urusan umum. Tetapi kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi,\" kata Taskhiri.
Hasyim Muzadi juga mengingatkan kapitalisme sudah mulai mengalami kegoyahan. Di Amerika dan Eropa, masyarakatnya sudah menyadari betapa buruknya sistim kapital itu sendiri. Dan di Timur Tengah, tengah terjadi suksesi kepemimpinan dari pemimpin-pemimpin yang pro barat, kini digantikan oleh pemimpin-pemimpin dari kelompok Islam.
Hanya saja, kata dia, yang perlu diwaspadai oleh negara ini adalah pemikiran barat yang mulai seluruh sendi, mulai ekonomi, politik, hukum hingga budaya. Untuk menanggulangi problematika tersebut, maka umat Islam perlu tampil untuk melakukan pembenahan
Dia mencontohkan, ekonomi Indonesia yang cenderung memisahkan kekayaan alam dengan rakyat harus diubah dengan keadilan ekonomi. Politik yang kini transaksional dijadikan politik yang amanah. Hukum juga harus berlandaskan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah budaya, di mana kaum muslim harus membentengi masyarakat dari budaya barat yang dapat merusak akhlak. (aha)
Saatnya Indonesia Ambil Alih Pengembangan Islam
Selasa 06-11-2012,07:50 WIB
Editor : Rajman Azhar
Kategori :