ANGGAPAN yang mengatakan bahwa penyakit gangguan gerak seperti parkinson atau epilepsi hanya bisa sembuh dengan penggunaan obat ternyata tidak selamanya benar. Saat ini penyakit tersebut bisa disembuhkan dengan cara cepat, yakni melalui pembedahan. Alhasil, dengan cara ini, angka kesembuhan bisa mencapai 70-80 persen dengan waktu yang relatif singkat.
Hal itu dibahas dalam seminar \"Functional Neurosurgery\" yang digelar di fakultas kedokteran Universitas Airlangga, Sabtu (31/8). Hadir dalam acara itu spesialis bedah asal Jepang Prof Takaomi Taira MD PhD dan Prof Sarat Chandra MD PhD dari India.
Taira -sapaan akrab Takaomi Taira- menjelaskan, ada dua metode pembedahan yang bisa dilakukan, yakni melalui deep brain stimulator (DBS) dan ablative atau pengambilan saraf yang rusak. Untuk DBS sendiri, menurut Taira, teknik ini sangat canggih, yakni dengan menanamkan alat elektroda ke bagian saraf otak.
Namun, yang menjadi kendala adalah alat elektroda yang harganya cukup mahal. Ya, harga satu elektroda bisa mencapai Rp 385 juta. Namun, Taira juga menjelaskan, teknik ini bisa membantu kesembuhan pasien hingga 90 persen dengan waktu yang cukup singkat.
Sedangkan untuk teknik ablative atau pengambilan adalah cara yang kedua dengan menggunakan alat bernama stereotaksis, yaitu sebuah alat berbentuk frame yang dipasang di kepala pasien.
Menurut Taira, ini merupakan cara yang paling pas untuk diterapkan di Indonesia dengan biaya yang relatif tidak mahal. \"Operasi ini termasuk operasi canggih juga. Sebab, hanya butuh diameter minimal 1 cm untuk bisa akses ke dalam otak,\" ujarnya.
Untuk angka kesembuhan sendiri, teknik ini bisa mencapai 70-80 persen. Saat ini, lanjut Taira, teknik tersebut mulai dikenalkan di Indonesia. Bahkan, Jumat (30/8) dia bersama tim dokter sudah membedah lima pasien di Rumah Sakit National Hospital. Hasilnya pun cukup berhasil. Kelima pasien tersebut mengalami kemajuan dalam hitungan jam.
Dia juga menjelaskan, teknik pembedahan tersebut juga bisa mengurangi angka ketergantungan obat hingga 75 persen. Seperti yang diketahui dengan metode konvensional, kebanyakan pasien mengonsumsi obat antikejang untuk mengontrol kejangnya. Kejang tersebut pasti cukup mengganggu kualitas hidup dan mengakibatkan ketergantungan obat. (dha/c17/end)