Lisa Bloom, penulis buku tentang pengasuhan, pernah menganjurkan supaya tidak kerap memuji anak perempuan dengan kata-kata \"cantik\". Ini ditujukan agar mereka tidak melulu memberi perhatian pada penampilan, tetapi juga kepintaran. Lalu, bagaimana bila berhadapan dengan anak laki-laki? Tentunya dalam keseharian kita kerap bertemu dengan anak laki-laki, usia 10 sampai 15 tahun yang aktif. Mereka menyukai olahraga, atau bermain game internet. Jarang sekali mereka memegang buku atau membaca majalah anak-anak. Suatu kali Lisa juga pernah mengalaminya, saat ia bertemu Oliver, yang berusia 12 tahun. Dia sangat mahir main skateboard dan menari. Tetapi Lisa tidak buru-buru memuji, melainkan bertanya mengenai buku favoritnya. Oliver menjawab tidak tahu dan memandang jauh. Dia membaca hanya bila perlu saja. Bila malam tiba, dia akan lebih sibuk dengan gadget daripada buku. “Saya baca buku kalau tidak ada kegiatan lain, tidak bisa main game, atau kumpul bareng teman,” jawab Oliver lugas. Apakah anak laki-laki melihat aktivitas membaca lebih feminin? Lisa pernah melakukan wawancara pada sejumlah anak dan mendapati sebagian dari mereka berpendapat demikian. Sementara, orangtua juga kerap mendorong anak perempuan untuk membaca, dan tidak demikian pada anak laki-laki. Keadaan tersebut makin diperparah dengan adanya stereotip budaya yang beranggapan bahwa anak laki-laki lebih baik berolahraga dan menyukai aktivitas luar rumah. Oliver pun berpikir demikian. Kata dia, saat membaca, seorang anak akan duduk dengan manis. Perempuan bisa saja begitu, tetapi anak laki-laki lebih baik bergerak, melakukan sesuatu. Tak mengherankan kemudian kalau perempuan lebih cepat matang dan dewasa dibanding anak laki ketika beranjak dewasa. Namun, bukankah membaca buku mestinya tidak dibatasi oleh karena dia perempuan atau laki-laki? Anak laki-laki hari ini mestinya tidak hanya jago basket atau game, tapi juga gemar membaca buku. Sayangnya, bila kita melihat lagi ke dalam rumah atau keluarga, peran ayah dan ibu pun sebenarnya sudah membuat stereotip betapa anak laki tidak perlu menyukai buku. Misalkan saat membaca dongeng sebelum tidur. Ibulah yang berperan, sementara ayah mengajak anak laki-laki bermain bola. Sementara di sekolah, guru perempuan mengajari bahasa dan membaca buku, sementara guru pria umumnya menjadi guru olahraga. Buku anak-anak kerap menggambarkan, kalau yang perempuan memegang buku, anak laki-laki lebih banyak beraktivitas. Saat anak berulang tahun, kita kerap memberi hadiah buku pada anak perempuan, dan mainan atau gadget buat anak laki-laki. Ini semua sudah memberi pesan yang kemudian diterima dan dianggap lumrah. Anak perempuan membaca, sementara anak laki-laki tidak. Semua hal di atas membuat anak laki-laki berjarak dengan buku. Sementara diketahui sebagian besar dari mereka kemudian ada yang putus sekolah, atau sama sekali tidak mau membaca. Perkembangan teknologi juga membuat akses hiburan lebih mudah dan makin membuat mereka jauh dari buku. Maka, ada hal-hal yang perlu dilakukan. Pertama, buatlah rumah menjadi surga baca. Tidak hanya ibu yang suka membaca, tapi juga ayah. Kedua orangtua menjadi role model untuk anak dalam membaca, yang menggambarkan betapa membaca itu aktivitas yang menyenangkan. Kedua, bisa menyarankan pada guru dan penjaga pustaka untuk juga kerap mengajak anak laki-laki membaca buku. Ketiga, ajak mereka lebih sering ke pustaka, toko buku, dan festival buku bacaan. Sekiranya ada diskusi buku atau pengarang terkenal menggelar peluncuran buku, Anda juga bisa mengajak anak untuk memberinya lebih banyak masukan. Terakhir, taruh buku atau bacaan di beberapa sudut rumah, entah di ruang tamu, dapur, atau kamar mandi. Sekali-kali sempatkan waktu membaca bersama, dan menikmati buku bersama-sama. Dorong mereka sampai menyukai buku, dan menjadi terbiasa dengannya.(**)
Mengajak Anak Menyukai Buku
Minggu 01-09-2013,11:10 WIB
Editor : Rajman Azhar
Kategori :