JAKARTA, BENGKULUEKSPRESS.COM - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) melontarkan kritik keras terhadap aktivitas tambang emas di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Aktivitas pertambangan yang menggunakan metode open pit mining itu dinilai telah menimbulkan ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan, ruang hidup rakyat, serta masa depan ekonomi masyarakat lokal.
Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI, Maulana Taslam, menyebut praktik tambang terbuka di Seluma merupakan bukti nyata ketundukan negara terhadap kekuasaan modal dan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
“Negara seolah kehilangan arah keberpihakan. Alih-alih melindungi rakyat, pemerintah justru menjadi fasilitator bagi korporasi tambang yang merusak alam. Tambang emas di Seluma adalah simbol bagaimana demokrasi ekonomi kita telah dikuasai oleh oligarki,” tegas Taslam.
Menurutnya, luas area tambang yang mencapai 19.000 hektare dengan sistem tambang terbuka jelas bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Aktivitas tersebut, kata Taslam, menggali tanah dan batuan dalam jumlah masif, meninggalkan lubang-lubang raksasa yang mengakibatkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan degradasi tanah dalam skala besar.
BACA JUGA: Tolak Zona Pertanian Jadi Zona Petambangan, Masyarakat Mukomuko Ancam Akan Demo Besar-besaran
BACA JUGA:Polres Bengkulu Selatan Hadirkan Pelayanan Prima 24 Jam Melalui Pamapta 110
PB HMI juga menyoroti ancaman langsung terhadap 2.378 hektare lahan persawahan warga di enam kecamatan, yakni Ulu Talo, Talo, Ilir Talo, Talo Kecil, Semidang Alas, dan Semidang Alas Maras. Keseluruhan wilayah pertanian tersebut bergantung pada sistem irigasi dari empat sungai utama: Sungai Air Talo Besar, Sungai Air Alas, Sungai Air Alas Tengah, dan Sungai Air Alas Kanan yang semuanya berhulu di kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul.
“Bukit Sanggul adalah jantung air bagi masyarakat Seluma. Jika hutan lindung ini dirusak tambang, ribuan petani akan kehilangan sumber air dan mata pencaharian. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi ancaman langsung terhadap kehidupan manusia dan masa depan ekonomi daerah,” ujar Taslam.
Ia menilai pembiaran negara terhadap eksploitasi tambang di Seluma mencerminkan krisis tata kelola sumber daya alam nasional, di mana kepentingan oligarki lebih dominan dibanding amanat konstitusi.
Kerusakan ekologis akibat pertambangan emas di Seluma, lanjut Taslam, bukan hanya berdampak lokal. Pencemaran logam berat di aliran sungai, menurunnya produktivitas lahan pertanian, meningkatnya risiko banjir dan longsor, serta hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah pesisir Bengkulu menjadi ancaman nyata.
“Ketika pemerintah menutup mata terhadap fakta ini, sesungguhnya negara sedang membiarkan kejahatan ekologis berlangsung atas nama investasi,” ujarnya.
Taslam menyebut bahwa pembangunan yang menindas rakyat dan merusak alam sejatinya adalah kejahatan struktural. Negara, menurutnya, saat ini tampak lebih berpihak kepada kepentingan pemodal daripada amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Atas dasar itu, PB HMI mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera meninjau ulang seluruh izin tambang emas di Seluma, terutama yang bersinggungan dengan kawasan penyangga hutan lindung. HMI juga menyerukan dilakukan audit lingkungan secara independen dan transparan, serta menuntut aparat untuk tidak melakukan intimidasi terhadap masyarakat atau aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak-hak rakyat.
“Perjuangan menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari jihad intelektual dan moral mahasiswa. Karena ketika alam rusak, penderitaan sosial akan menjadi kenyataan yang tak terhindarkan,” tutup Taslam.(**)