Satu gambar foto berangka tahun 1939 dari koleksi perpustakaan Leiden University memberi petunjuk adanya aktivitas semacam pertunjukan di sebuah halaman rumah. Terlihat dalam foto ada semacam replika hewan yang diposisikan di tengah sekumpulan anak-anak dan beberapa orang dewasa yang sedang memerhatikan.
Namun foto yang berjudul ‘Prosesi Taboot di Bengkoelen' ini, tidak memberikan pendeskripsian secara mendalam terhadap objek foto. Tidak ada instrumen musik, tidak ada gelagat orang menari, hanya semacam replika hewan yang tidak begitu jelas dari bidikan foto. Apakah sebagai prototipe kesenian Ikan-ikan masa kini?.
Kesenian Ikan-ikan semakin membentuk konstelasi baru sebagai ‘permainan rakyat’, ketika pemerintah daerah turut andil mengapikkan fenomena keramaian bulan Muharram yang dikemas menjadi festival budaya semenjak tahun 1990-an (Japarudin, 2021). Ruang dan waktu pertunjukan dibeku dalam agenda kalender dan lokasi Festival Tabut. Perlombaan menjadi label pertunjukan.
Juknis perlombaan seolah menuntut kesenian Ikan-ikan untuk terus bergumul dalam dimensi kreativitas dan inovasi. Kreasi yang menjadi selera, masyarakat pun mendambakan kebaruan elemen pertunjukan di setiap tahunnya. Bukan lagi untuk penggalangan dana, melainkan untuk prestise trofi antar peserta kelurahan. Mungkinkah masyarakat menghendaki semangat kontestasi belaka?
Seyogianya tidak cukup hanya mengamati bagaimana perlombaan Ikan-ikan dimaknai sebagai ajang prestise semata. Ia memiliki nilai-nilai budaya sebagai cara masyarakat Bengkulu dalam melanggengkan kesenian. Berbagai nilai tersebut dapat ditelusuri dari berbagai aspek yang melatarbelakanginya.
Katakanlah dalam kasus pertunjukan, para peserta menyajikan dua repertoar lagu yang diaransemen, maupun yang diciptakan langsung oleh masing-masing kelompok dalam nuansa musik melayu. Satu lagu di antaranya berisikan lirik yang sering kali memautkan cerita hewan yang dibawa dengan keadaan sosio-kultur masyarakat Bengkulu.
Replika ikan laut yang kerap diusung menjadi karya misalnya, menyangkut nilai tentang kebiasaan, solidaritas, dan keprihatinan hidup dari kaum nelayan. Di samping itu juga, adanya penjelasan lirik yang menggambarkan masyarakat mengolah ikan laut tersebut menjadi komponen lauk dalam budaya masakan khas Bengkulu.
Tidak hanya pada aspek pertunjukannya, dalam proses kreatif, integrasi sosial memayungi tindak tanduk masyarakatnya dalam menyukseskan garapan karya yang dibuat. Para seniman, kelompok sanggar, serta masyarakat lain, mengambil masing-masing peran.
Apabila suatu kelurahan atau sanggar yang berhajat ingin mengikuti perlombaan, mereka akan menghimpun para seniman yang tidak hanya berdomisili di kelurahan itu sendiri, melainkan seniman lintas kelurahan untuk saling bekerja sama. Baik dari sisi pemusik, penari, koreografer, komposer atau aranger, hingga para pengrajin Ikan-ikan yang membuat replika hewan
Kesenian Ikan-ikan melibatkan banyak khalayak, begitu juga kebutuhan proses kreatifnya yang memerlukan pemenuhan kantong modal yang cukup merebak. Navigasi sponsor atau donasi diarahkan ke haluan masyarakat kelurahan jika dibutuhkan. Atau malah sebaliknya, para relawan bahkan berinisiatif memberikan kontribusinya dalam keperluan modal kebutuhan proses kreatif kelompok Ikan-ikan.
Digunakan untuk segala rupa kebutuhan, seperti hidangan makanan dalam proses latihan, honorarium seniman, hingga pembuatan replika ikan yang memerlukan banyak anggaran. Kepedulian sosial menjadi junjungan bersama bagi masyarakat dalam atmosfer suatu kelompok Ikan-ikan. Tiap peserta kelompok memiliki motif tersendiri dalam keterhubungannya antara kelompok sanggar, seniman, dan masyarakat kelurahan. Bisa saling menguntungkan atau saling bahu-membahu tanpa embel-embel honorarium.
Ruang pertunjukan yang mekar, atau terkungkung abadi dalam lembaran juknis bulan Muharram?
Ruang kesenian tradisi menemukan ragam wajah panggung kala roda peradaban yang berputar maju. Selera masyarakat, pasar, dan tuntutan kebutuhan dapur (finansial) pelaku senimannya membentuk gelanggang bagi kesenian tradisi untuk terus berkompetisi dengan tantangan zaman. Disadari atau tidak, kesenian tradisi bak dipaksa untuk terus memangku nilai dari ruang-ruang baru yang dihasilkan oleh zaman tadi. Sebagaimana contoh kesenian tradisi yang bersifat sakral. Semula dikemas dalam ruang ritual, kemudian disublim menjadi festival, hingga ke wajah pertunjukan virtual. Pada akhirnya ruang pertunjukan hari ini dipandang bagai strategi untuk menyinambungkan kesenian tradisi dalam melawan tantangan arus waktu.
Di Pacitan, kesenian Ronthek menjadi primadona bagi masyarakatnya dalam giat berkesenian. Lahir dari aktivitas bermusik para pemuda saat melakukan ronda malam dan bangun sahur masyarakat dalam bulan Ramadhan, kini kesenian Ronthek semakin melekat dalam keseharian ruang pertunjukan seni di kalangan masyarakatnya (Hendriyanto dkk., 2021). Terlebih lagi hadirnya kegiatan tahunan Festival Ronthek yang merupakan ruang khusus bagi ekosistem kesenian Ronthek.
Demikian juga Randai sebagai kesenian teater rakyat Minangkabau. Melalui proses keajekan yang panjang, Randai menemukan kekompleksitasan bentuk dan ruang pertunjukan dari berbagai pembauran kesenian lain. Mencakup kesenian Kaba (sastra lisan), Teater Bangsawan Melayu, dan Silek (silat) (Zulkifli, 2013), sebagai arketipe kesenian Randai. Halaman rumah dan keramaian warga menjadi suasana ruang awal, sebelum akhirnya pertunjukan Randai digalakkan menjadi festival atau perhelatan budaya yang masif dalam aktivitas kesenian 'Anak Nagari' (Wendy HS, 2014). Lalu, bagaimana dengan kesenian Ikan-ikan?.