BENGKULUEKSPRESS.COM – Pengadilan Negeri Bengkulu kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemberian Kredit Yasa Griya (KYG) oleh Bank BTN Bengkulu, Selasa (1/7/2025). Sidang kali ini memasuki tahap pembacaan putusan terhadap dua terdakwa, yaitu Zulmarwan dan Darwin Usman, yang merupakan mantan pejabat di Bank BTN Bengkulu.
Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Paisol SH, kedua terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 KUHP, sesuai dengan dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum.
“Menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 sebagaimana dalam dakwaan subsider, dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun serta denda sebesar Rp150 juta, subsider 3 bulan kurungan,” tegas Ketua Majelis Hakim Paisol SH.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut keduanya dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan negara dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Hal itu menjadi faktor yang memberatkan hukuman.
BACA JUGA:Dituntut 4,5 Tahun Penjara, Dua Pejabat BTN Kota Bengkulu Ajukan Pembelaan Minta Dibebaskan
BACA JUGA:Kasus Korupsi KYG Bank BTN Bengkulu Segera Disidangkan, Kerugian Capai Rp 4 Miliar
Atas putusan ini, baik Jaksa Penuntut Umum maupun kuasa hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari sebelum menyatakan sikap menerima atau mengajukan banding.
Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) oleh Zulmarwan selaku Branch Manager BTN Bengkulu kepada PT Rizki Pabittei, sebuah perusahaan pengembang perumahan. Dalam proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu, ditemukan adanya dugaan manipulasi dokumen kerja sama dan daftar usulan konsumen.
Lebih lanjut, diketahui bahwa lahan yang dijadikan agunan pokok atas fasilitas kredit tersebut masih atas nama pihak ketiga yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan pengembang. Selain itu, lokasi lahan agunan juga tidak berada dalam satu hamparan, melainkan tersebar dengan sejumlah enclave (kantong wilayah), sehingga secara hukum menyulitkan proses jaminan.
Akibat dari rekayasa tersebut, negara diduga mengalami kerugian yang cukup signifikan, mencapai Rp4 miliar dalam proses pencairan kredit.(**)