BENGKULUEKSPRESS.COM - Di tengah gempuran persaingan global yang semakin ketat, kampus tidak lagi cukup hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan semata.
Lebih dari itu, universitas dituntut untuk menjadi inkubator ide, tempat lahirnya inovasi, serta penggerak utama pengembangan ekonomi kreatif.
Salah satu langkah maju dalam arah ini dapat kita lihat di Universitas Bengkulu, yang mulai membangun ekosistem inovasi berbasis inkubator bisnis.
Inisiatif seperti kehadiran Pojok Skopus—sebuah kafe kampus yang lebih dari sekedar tempat ngopi—menjadi simbol pergeseran paradigma pendidikan tinggi di Indonesia.
Nama SKOPUS sendiri merupakan akronim dari “Secangkir Kopi Kampus,” sebuah filosofi sederhana namun sarat makna: secangkir kopi yang menjadi jembatan ide, diskusi, dan kolaborasi di lingkungan akademik.
BACA JUGA:Lima Bakal Calon Rektor UNIB Bersaing, Ini Nama-namanya
BACA JUGA:Wali Kota Bengkulu Lepas 1.277 Peserta KKN UNIB, Ajak Mahasiswa Jadi Agen Perubahan
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang dinamis, ada satu sudut di Universitas Bengkulu yang belakangan menjadi tempat favorit mahasiswa untuk berkumpul, berdiskusi, dan melahirkan ide-ide segar.
Namanya adalah Pojok Skopus, sebuah pojok di kafe kampus yang tidak hanya menawarkan secangkir kopi nikmat, tetapi juga atmosfer kolaboratif yang menggairahkan.
Berlokasi di Fakultas Pertanian, Pojok Skopus bukan sekadar kafe biasa. Fasilitas ini dirancang oleh Fakultas Pertanian dengan konsep yang menekankan kenyamanan, keterbukaan, serta suasana santai namun produktif.
Di sinilah para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu bertemu, berbincang, dan menciptakan percikan-percikan pemikiran inovatif yang kadang tak terduga hasilnya.
Faktor yang mendukung Pojok Skopus viral bukan hanya karena interiornya yang estetik, outdoor atau kopinya yang lezat, tetapi karena energi positif yang hadir dalam setiap diskusinya.
Di sini, mahasiswa bisa dengan bebas berdebat tentang isu sosial, ekonomi, politik, hingga proyek-proyek bisnis sampingan. Di pojok inilah lahir ide-ide kreatif yang mungkin awalnya terdengar "gila", tetapi justru memiliki potensi besar untuk diwujudkan.
Tidak jarang, dosen atau alumni ikut nimbrung dalam obrolan-obrolan ringan tersebut, sehingga batas antara akademisi dan praktisi semakin cair. Ini adalah bentuk nyata dari pembelajaran partisipatif yang seharusnya terus dikembangkan di kampus-kampus Indonesia.