Kasus Jaksa Jovi Andrea, Permasalahan UU ITE Dalam Perspektif Regulasi Komunikasi di Indonesia

Kamis 28-11-2024,10:56 WIB
Editor : Rajman Azhar

Komunikasi memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan pembangunan negara. Di Indonesia, regulasi komunikasi bertujuan mengatur berbagai aspek, termasuk penyiaran, telekomunikasi, dan media digital. Regulasi ini diharapkan bisa melindungi masyarakat, menjaga kebebasan berekspresi, serta menjamin keberagaman informasi yang sehat dan objektif. Namun, dalam praktiknya, regulasi komunikasi di Indonesia sering menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan.

Salah satu yang mengatur mengenai regulasi komunikasi yaitu ada nya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE di Indonesia diperkenalkan pada tahun 2008, dengan tujuan mengatur komunikasi digital, memberikan kepastian hukum dalam transaksi elektronik, serta melindungi masyarakat dari tindak kejahatan siber. Meski demikian, UU ITE telah menuai kritik sejak diterapkan karena dianggap berpotensi menghambat kebebasan berekspresi dan memunculkan masalah hukum dalam komunikasi di ranah digital. Pada 2016, revisi terhadap UU ITE dilakukan untuk merespons kritik publik, namun permasalahan utama belum sepenuhnya teratasi.

BACA JUGA:Kebijakan Komunikasi Efektif untuk Mengatasi Permasalahan Judi Online di Zaman Modern

BACA JUGA:Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Era Digital

Terdapat beberap poin penting dalam regulasi UU ITE, yaitu :

1. Keseimbangan Antara Kebebasan dan Keamanan: Regulasi ini di satu sisi memberikan kepastian hukum dalam dunia digital, namun di sisi lain dianggap mengancam kebebasan berpendapat karena mudah digunakan untuk melaporkan pihak lain secara subjektif (saling melapor).

2. Efektivitas Implementasi: UU ITE kurang optimal dalam melindungi aktivitas siber dan sering kali disalahgunakan, mengarah pada polarisasi masyarakat akibat penggunaan hukum untuk tujuan balas dendam atau intimidasi.

3. Revisi dan Reformasi: UU ITE telah mengalami revisi pada 2016 untuk merespons kritik terkait pasal-pasal multitafsir. Namun, hingga kini, implementasinya masih diperdebatkan karena tidak semua substansi permasalahan dapat teratasi.

Kasus Jovi Andrea, Jaksa di Tapanuli Selatan (Tapsel) yang dituduh melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE mencerminkan tantangan dalam regulasi kebijakan komunikasi di era digital. Ia memposting di akun media sosial nya bahwa rekan kerja nya Nella Marsela sering memamerkan atau flexing penggunaan mobil dinas milik Kajari Tapsel Siti Holija Harahap. Nella Marsela bukan seorang Jaksa, melainkan pengawal tahanan. Merasa tak terima, pada 25 Mei 2024, Nella resmi membuat laporan ke Polres Tapanuli Selatan. Jovi telah dituntut dua tahun penjara terkait kasus pencemaran nama baik terhadap pegawai Kejari Tapsel Nella. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, Selasa (12/11/2024), JPU menilai Jovi menyebarkan informasi yang melanggar kesusilaan di media sosial. Namun demikian, kasus ini kemudian viral di media sosial, di mana Jovi menyebut dirinya dikriminalisasi.

BACA JUGA:Tren Ujaran Kebencian di Media Sosial dan Dampaknya

BACA JUGA:Meminimalisir Konflik dan Menjaga Keharmonisan Antar Budaya

Dalam konteks kebijakan komunikasi, masalah muncul ketika regulasi ini diterapkan pada konten yang menyinggung pihak lain, seperti tudingan Jovi terhadap rekannya. Di sisi lain, penggunaan hukum ini menimbulkan pertanyaan tentang batas kritik dan penghinaan. Pembaruan regulasi yang seimbang menjadi sangat penting untuk mencegah kriminalisasi berlebihan sambil tetap melindungi hak individu di era digital.

Berdasarkan analisis dari sejumlah jurnal, penerapan UU ITE sering kali menghadapi kritik terkait pasal-pasal multitafsir yang disebut "pasal karet," terutama Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Kasus ini menunjukkan bahwa UU ITE, yang awalnya dirancang untuk mendukung transaksi elektronik dan komunikasi yang aman, kini lebih sering digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau ekspresi publik, yang justru berpotensi bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Dalam kasus Jovi Andrea, penggunaan UU ITE dalam konteks pencemaran nama baik atau ujaran kebencian menggambarkan bagaimana undang-undang ini bisa menjadi alat penegakan hukum yang tajam namun perlu kehati-hatian dalam penerapannya agar tidak mencederai kebebasan berpendapat. Reformasi lanjutan yang menekankan kejelasan redaksi pasal dan sosialisasi prinsip kebebasan berekspresi diperlukan untuk memastikan UU ini benar-benar menjadi instrumen yang melindungi hak digital masyarakat secara adil.(**)

Penulis:  Soraya Yulita, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu

Kategori :