Media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi yang berbasis internet menjadi salah satu bentuk dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada bidang telekomunikasi.
Media sosial (medsos) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kemudahan dengan adanya kemajuan teknologi membuat situs-situs jejaring sosial yang semakin inovatif terus bermunculan, sehingga masyarakat Indonesia lebih mudah dalam berkomunikasi. Namun demikian, komunikasi seperti tidak ada batas bagi siapa saja.
Dalam perkembangan masyarakat modern yang disertai dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan semakin terbukanya kesempatan individu untuk berinteraksi dengan sesama. Media sosial menjadi sebuah tempat bagi para warganet atau netizen dalam menjalankan beberapa ajang interaksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, dan saling bertemu. Salah satu bentuknya dengan saling memberikan komentar tentang apa yang suatu individu lihat dan rasakan dalam sebuah postingan atau berita. Hal ini menciptakan tantangan besar terkait dengan pengendalian konten yang mengandung ujaran kebencian (hate speech).
BACA JUGA:16HAKTP: Serukan Pemenuhan Hak Ekosob untuk Perempuan Pembela HAM (PPHAM)
BACA JUGA:AMSI Bengkulu dan Unib Bersinergi, Dorong Literasi Media untuk Masyarakat Cerdas
Komentar menurut KBBI merupakan sebuah ulasan atau tanggapan atas berita, pidato, dan sebagainya untuk menerangkan atau menjelaskan. Sehingga, berkomentar dapat disebut sebagai kegiatan mengulas atau menanggapi. Berkomentar merupakan suatu hal yang wajar, sebagai bentuk curahan ekspresivitas suatu individu. Namun, tidak jarang komentar dalam media sosial kerap menggiring suatu tren untuk memberikan hujatan atau ujaran kebencian pada suatu individu atau kelompok. Tidak tersedianya pembatasan pertimbangan baik dan buruk dalam berkomentar menjadi awal penyalahgunaan media sosial. Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan polemik antar individu atau kelompok, seperti perasaan sakit hati, kegaduhan, hingga kekerasan. (Ningrum et al., 2018).
Menurut Beryandhi (2020), terdapat banyak faktor pendorong seseorang melakukan ujaran kebencian, seperti permasalahan emosional pribadi, berita bohong, dan bahkan sekadar iseng. Kasus ujaran kebencian yang dapat ditemukan di media sosial sangat beragam. Dapat berupa penghinaan terhadap suatu ras, penghinaan terhadap fisik atau penampilan seseorang, bahkan hal miris seperti menyuruh suatu individu untuk mati atau menghilang. Ujaran kebencian di media sosial termasuk ke dalam cyberbullying.
Dilansir dari kompas.com, komentar jahat atau ujaran kebencian memang ditujukan untuk menghina, merendahkan, membuat korban merasa sakit. Masalah tersebut tentu saja tidak bisa diabaikan karena dapat mempengaruhi permasalahan mental seseorang. Ujaran kebencian bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa, sama hal nya dengan etika berkomunikasi (Ningrum et al., 2018).
BACA JUGA:Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu
BACA JUGA:Pergeseran Fungsi Coffee Shop sebagai Simbol Harmoni Budaya di Era Globalisasi
Kebebasan di media sosial menjadi penyebab individu tidak merasa takut untuk meninggalkan beberapa ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. Anonimitas yang disediakan media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman untuk mengatakan hal apapun, bahkan meninggalkan ungkapan cacian, kutukan, dan hinaan tanpa diketahui identitasnya oleh orang banyak. Terlebih orang yang mereka hujat bukanlah orang yang mereka kenal sehingga mengurangi dampak perasaan bersalah.
Sudah menjadi hal umum, bahwa banyak individu yang memberikan hujatan dengan kedok mengkritik. Mereka berdalih menyampaikan suatu pesan untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dari individu yang dikritik. Sayangnya, hal yang disebut kritik tersebut bahkan sudah tidak dapat dianggap membangun dan cenderung mengarah terhadap penghinaan. Jadi, apa esensi dari kritik tersebut? Apakah mungkin hanya untuk sensasi pribadi semata? Selain itu, komentar negatif berupa hujatan juga mudah mempengaruhi pikiran individu lain yang membacanya. Sehingga timbulah fenomena “ikut-ikutan” yang menyebabkan banyaknya warganet tergiring untuk ikut melemparkan komentar negatif.
Sekadar untuk mendapat banyak dukungan, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya. Dampak ujaran kebencian bagi para korban dapat sangat berbahaya. Apalagi media sosial merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan dapat terlihat oleh khalayak ramai. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, hingga bunuh diri bagi korban. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan korban merasa takut berada dalam lingkungan sosial. Sehingga, korban akan memilih untuk mengisolasikan diri, mengumpat di rumah, dan tidak lagi berinteraksi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran lebih bagi para warganet dalam menyaring ujaran yang ingin diungkapkan. Kesadaran akan pidana UU ITE juga sangat diperlukan, agar warganet lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pikirannya saat berkomentar. Dalam hal ini kita harus mempunyai solusi pengendalian konten ujaran kebencian:
1. Peningkatan Regulasi dan Pembaruan UU
2. Peran Penyedia Platform Media Sosial