Multikultur di Desa Air Petai Bengkulu dalam Perspektif Filsafat dan Komunikasi

Senin 11-11-2024,16:17 WIB
Reporter : Afrahur Risqi Akbari, S.Tr.Han
Editor : Rajman Azhar

Meskipun relativisme budaya mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan dan memahami setiap budaya dalam konteksnya masing-masing, dalam kehidupan sehari-hari di Desa Air Petai, prinsip-prinsip universalitas juga diterapkan untuk membangun kesepahaman dan solidaritas antarwarga. Di tengah keragaman budaya dan agama yang ada, warga desa menyadari pentingnya nilai-nilai dasar seperti keadilan, kesetaraan, dan saling menghormati yang dapat diterima oleh semua kelompok, menciptakan sebuah tatanan sosial yang inklusif dan harmonis.

Di Desa Air Petai, meskipun keragaman budaya dan agama menjadi kekayaan yang dihargai, etika dan norma multikultural juga memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan dan kebersamaan. Etika multikultural di desa ini berakar pada prinsip saling menghormati dan mengutamakan dialog antarbudaya, yang memungkinkan masyarakat untuk beradaptasi dengan perbedaan tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih universal.

Multikulturalisme yang dijadikan norma disebut pula Multikulturalisme Normatif yakni berkaitan dengan dasar-dasar moral para warga dalam lingkup negara atau bangsa untuk melakukan sesuatu yang dijadikan kesepakatan bersama. (Mania, 2010). Norma-norma sosial yang berlaku di Desa Air Petai mengajarkan pentingnya gotong royong, saling bantu-membantu, dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan. Misalnya, meskipun ada perbedaan dalam praktik keagamaan—seperti perayaan Idul Fitri, Natal, atau upacara adat lokal—warga desa tidak hanya saling menghormati, tetapi juga ikut serta dalam perayaan tersebut sebagai bentuk solidaritas.

Etika multikultural ini mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan sumber kekuatan yang bisa mempererat hubungan antarwarga. Di sisi lain, norma multikultural yang diterapkan di desa ini juga menekankan pentingnya kesetaraan. Setiap warga, tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau status sosial, diperlakukan sama dan dihargai hak-haknya. Dalam praktek sehari-hari, hal ini tercermin dalam cara mereka membagi tugas dalam kegiatan gotong royong atau dalam pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Norma ini juga tercermin dalam sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan pendapat, di mana setiap suara didengar dan dihargai dalam musyawarah untuk mufakat.(**)

Afrahur Risqi Akbari, S.Tr.Han

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu Angkatan 15

 

 

Kategori :