BENGKULUEKSPRESS.COM - Saat sedang puasa salah satu masalah yang akan timbul adalah kurang fokus dalam menjalani sesuatu.
Bagaimana tidak pada saat puasa akan ada banyak hal yang akan terjadi perut keroncongan, tubuh terasa lemas, dan rasa kantuk yang mengintai saat puasa sering kali membuat kita susah fokus dalam beraktivitas.
Menjadi pertanyaan, apakah benar puasa memang menjadi penyebab utama susah fokus? Yuk, simak faktanya di artikel ini.
Sebenarnya, puasa bermanfaat bagi kesehatan otak, termasuk dapat meningkatkan fokus dan konsentrasi.
Namun, hal ini justru bisa berdampak sebaliknya dan membuat fokus serta konsentrasi menurun jika kebutuhan nutrisi dan cairan tubuh tidak tercukupi dengan baik saat sahur dan berbuka puasa.
BACA JUGA:Wajib Dicoba! Minuman Sehat dan Segar Penurun Berat Badan
Fakta di Balik Puasa Menyebabkan Susah Fokus
Kekurangan asupan nutrisi selama puasa, khususnya karbohidrat, memang dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah.
Gula darah itu sendiri merupakan sumber energi bagi tubuh. Jadi, ketika kadarnya rendah, tubuh dapat kelelahan serta sulit fokus, konsentrasi, dan berpikir.
Selain itu, susah tidur saat puasa dan kurangnya waktu istirahat karena harus bangun lebih pagi untuk mempersiapkan sahur juga dapat membuat kita sulit fokus ketika beraktivitas.
Kendati demikian, selama diterapkan dengan cara yang tepat, puasa justru bisa memberikan manfaat lho, termasuk dalam meningkatkan fokus dan konsentrasimu.
Dilansir dari berbagai sumber yang menyatakan beberapa penelitian bahkan menunjukkan, puasa yang dilakukan dalam rentang waktu tertentu bisa memicu perkembangan sel saraf baru dan meningkatkan hubungan antarsel di otak.
BACA JUGA:Benarkah Puasa Dapat Mengeluarkan Racun Dalam Tubuh? Simak Penjelasan
Dengan begitu, kemampuan otak untuk fokus, konsentrasi, mengingat, berpikir, menyusun rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan akan lebih baik lagi.
Selain itu, puasa juga mendukung kesehatan otak secara keseluruhan, termasuk mendorong pemulihan setelah stroke atau cedera otak traumatis, meningkatkan keberhasilan terapi penderita gangguan mood, serta menurunkan risiko terjadinya penyakit neurodegeneratif, seperti demensia, penyakit Alzheimer, dan penyakit Parkinson.