Bengkulu, Bengkuluekspress.com - Puluhan Jurnalis Bengkulu, mengadakan aksi simpatik di Tugu Pers, Tapak Paderi, Kota Bengkulu, Sabtu siang (28/9/19).
Aksi ini mengecam kekerasan terhadap sejumlah jurnalis yang mengalami kekerasan saat melaksanakan tugas liputan, seperti dikeroyok oleh aparat, dihalangi dalam bertugas dan sejumlah kekerasan fisik lainnya. Sebagaimana kekerasan yang dialami jurnalis, seperti terjadi di Jakarta, Makassar, Jayapura dan lainnya saat meliput aksi unjuk rasa 24-25 September lalu.
Dalam aksi ini para jurnalis membawa beberapa pamflet dari karton yang bertuliskan kecaman dan penolakan terhadap kekerasan bagi para jurnalis.
\"Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan sepanjang unjuk rasa September 2019 terdapat 14 jurnalis mengalami kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat kepolisian,\" ujar ketua AJI Bengkulu Harry Siswoyo kepada Bengkuluekspress.com.
Dilanjutkan Harry, kerentanan akan tugas jurnalis merupakan konsekuensi. Namun UU no 40 mengatur bahwa jurnalis wajib diberikan hak untuk melaksanakan tugasnya tanpa harus mendapatkan intimidasi, ancaman apalagi kekerasan fisik.
\"Pelaku kekerasan berasal dari beragam, aparat, pejabat, swasta, militer dan lainnya. Apalagi diera medos, AJI mengecam jangan Antikritik di Medsos,
Dijelaskan Harry, kekerasan terhadap jurnalis ataupun wartawan di Indonesia pada 2018 menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus). Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil Liputan (14 kasus), pemidanaan (8 kasus).
Selain itu ditetapkannya Dhandy Laksono seorang jurnalis karena kicauan di media sosial menjadikan fakta bahwa kebebasan berekspresi warga masyarakat masih tabu di Indonesia.
\"Kita bersepakat ujaran kebencian yang mengandung SARA, fitnah dan hoaks adalah musuh bersama dan layak mendapatkan penanganan hukum. Namun sesuatu yang berisi kebenaran dapat dibuktikan kebenarannya, fakta, tidak menjadi masuk dalam kategori ujaran kebencian,\" tegasnya.
Ditambahkan Harry, berangkat dari itu semua AJI Kota Bengkulu mengadakan aksi simpatik ini. (HBN)
Berikut Permintaan yang disampaikan pada Aksi Simpatik,:
1. Mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi di berbagai daerah.
2. Mendesak kepolisian menghentikan segala bentuk represi yang mengancam kerja jurnalis, serta mendukung kebebasan berpendapat dan berkespresi yang dilakukan masyarakat.
3. Menuntut kepolisian melucuti senjata para anggotanya yang bertugas menghalau massa. Dan menghentikan semua upaya sweeping kepada peserta aksi maupun jurnalis yang sedang bertugas.
4. Menuntut kepolisian membebaskan Dandhy Dwi Laksono dari sangkaan pasal karet UU ITE.
5. Menuntut kepolisian menghentikan penangkapan-penangkapan aktivis yang melakukan kritik dan menyuarakan kepentingan publik.
5. Tuntaskan reformasi di tubuh Polri.
6. Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.
7. Mengimbau perusahaan media untuk memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis mereka yang meliput aksi massa yang berpotensi terjadi kericuhan.
8. Mendesak Dewan Pers membentuk Satgas Anti Kekerasan guna menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang aksi penolakan RKUHP dan Revisi UU KPK di berbagai daerah.