Belajar Tanpa Kursi dan Meja
BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Tidak sebandingnya jumlah antara guru relawan dengan jumlah siswa membuat pembelajaran belum belajar kondusif. Pembelajaran lesehan dan terbuka membuat guru harus lebih ekstra mengeluarkan suara. Kemudian guru relawan tidak memiliki acuan buku pembelajaran dan tidak tersedianya fasilitas papan tulis. Bahkan, siswapun mulai kelelahan saat melaksanakan belajar tanpa kursi dan meja, sehingga harus diselingi dengan tidur-tiduran.
\"Siswanya sangat banyak, untuk kelas 6 saja ada 3 kelas, sehingga saat menjelaskan suara saya yang kecil tidak terdengar dengan anak-anak. Belum lagi adanya fasilitas papan tulis guru susah untuk menerangkan materi pembelajaran, \" ungkap guru relawan dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Trianda Putri.
Selaku alumni, Trianda mengaku prihatin atas sengketa lahan yang menimpa adik-adik tingkatnya. Ia bersama dengan guru relawan lainnya, berupaya memberikan tenaga dan mengajak relawan lain untuk bisa bergabung, dengan begitu satu relawan bisa mengajar 20 siswa. Dengan model pembelajaran dan manajemen yang bagus, maka bisa dipastikan proses pembelajaran yang disampaikan bisa diterima baik oleh anak-anak. \"Metode pembelajaran dengan sistem lingkaran, satu guru 20 anak dan ia mengajar ditengah-tengah siswa, sehingga semua siswa dapat mendengar suara guru dengan baik, \" katanya.
Dalam pembelajaran itu, anak-anak diharapkan membawa buku pelajaran serta Lembar Kerja Siswa, dan sejumlah kumpulan soal-soal ujian nasional, penyediaan fasilitas papan tulis juga akan dibawa agar lebih mudah untuk membimbing anak-anak.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bengkulu tidak mengakui dan bertanggungjawab atas pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) siswa/siswi SDN 62 secara lesehan di pasar kuliner jalan merawan Kota Bengkulu. Pelaksanaan Pembelajaran lesehan itupun menjadi tidak jelas. \"Aktivitas belajar lesehan yang dilakukan wali murid secara lesehan itu ilegal, seluruh kegiatan bukan tangungjawab Dinas Dikbud, dan proses pembelajaran disana pun juga ilegal, \" ungkap Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bengkulu, Nopri Waludin Aksa.
Ia mempersilahkan wali murid yang masih berkeras untuk tetap melakukan pembalajaran secara lesehan, namun secara legalitas pemerintah kota hanya mengakui proses pembelajaran SDN 62 di dua sekolah yang ditunjuk yaitu SDN 51 dan SDN 59 kota Bengkulu. \"Guru SDN 62 harus standbay ngajar di SDN 51 dan SDN 59 kota Bengkulu, absensinya tetap berjalan secara normal, kalau tidak hadir dalam pelaksanaan itu artinya tidak sekolah (Alpa), \" tegasnya.
Aksi yang dilakukan walimurid dinilai sudah tidak wajar, pemerintah kota Bengkulu mencium adanya indikasi eksploitasi anak didik untuk mencapai suatu kepentingan. Atas aksi tersebut, pemerintah kota Bengkulu diwakili kabag hukum dan pengacara pemda kota berkoordinasi ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, terkait indikasi eksploitasi anak didik SDN 62 yang dinilai tidak wajar. \"Karena dugaan pemanfaatan dan berpanas-panasan mencari sumbangan dipersimbangan jalan. Dan mencium dugaan pengancaman agar orang tua dan anak mengikuti aksi demo dan belajar lesehan,\" katanya.
Wali murid Pecah
Wali murid nampaknya mulai pecah dan mulai menarik anak-anaknya untuk belajar secara lesehan dan memilih belajar ke sekolah yang ditentukan pemerintah. Namun ada juga wali murid yang tidak ingin anaknya di ejek tidak solidaritas sehingga anaknya belajar pagi secara lesehan dan sore belajar di SDN 51 dan SDN 59.
Seorang wali murid yang tak ingin disebut namanya mulai merasa kasihan melihat anak-anaknya, yang belajar tidak kondusif. Anaknya pun mulai mengeluh tidak bisa kosentrasi dan ingin belajar bersama dewan guru. \" Anak saya tetap ikut belajar lesehan, tapi sorenya berangkat sekolah lagi ke SDN 51,\" katanya.
Kepala SDN 62 Kota Bengkulu, Tutik Sunarsih S.Pd mengaku bingung dengan polemik yang terjadi di sekolahnya. Disatu sisi ia harus patuh terhadap pimpinan, namun ia juga pilu melihat anak-anaknya belajar secara lesehan. Tutik Sunarsih masih berupaya mencari cara dan meminta izin pada pimpinan agar diperbolehkan untuk datang ke lokasi menemui anak-anaknya, untuk bisa membujuk anak-anak didiknya agar tidak belajar secara lesehan.
\" Saya akan berkoordinasi dengan Kadis Dikbud Kota Bengkulu, untuk ke sekolah lesehan, mungkin pendekatan bisa membujuk mereka kembali belajar ke sekolah, \" harapnya.
Diakui, hari pertama dan kedua sejak aksi dilakukan, tidak ada siswa/siswi yang hadir, kemudian dihari ketiga mulai berangsur ada satu dua orang siswa. Namun dihari kelima (28/8) jumlah siswa yang datang dan belajar di SDN 51 dan SDN 59 Kota Bengkulu mulai banyak. \"Hari ini anak-anak cukup banyak, sudah ada 30 anak yang hadir, \" katanya. Disigung status siswa yang tidak hadir selama proses belajar, Tutik Sunarsih belum bisa mengambil kebijakan, persoalan ini harus dilaporkan terlebih dahulu ke Dinas Dikbud, tukasnya.
Walikota Diminta Mengalah
Kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Bengkulu terkait polemik SDN 62 terus menuai kontra dari masyarakat. Pasalnya, hingga saat ini para siswa dibiarkan menggantung, dalam hal ini Walikota diminta untuk mengalah agar nasib para siswa tidak terus dikorbankan karena saling menahan ego masing-masing. \" Semakin lama persoalan ini, semakin tidak menguntungkan bagi semua pihak, terutama anak-anak yang sedang belajar apalagi ada yang memasuki masa ujian,\" kata Tokoh masyarakat Lembak, Usman Yasin, kemarin (28/8).
Menurutnya, jika pihak pemerintah kota dengan pihak ahli waris sudah sangat berseberangan maka harus ada pihak ketiga yang terlibat untuk melakukan mediasi supaya cepat selesai. \" Sebaiknya ada nilai nilai kearifan yang coba dibangun ulang, menurut saya kalau ada pendekatan yang lebih saling menghargai mungkin ada hasil yang lebih bijak, sebelum memutuskan membangun sekolah baru,\" jelasnya.
Sementara itu, Tokoh pemuda Bengkulu yang juga Direktur eksekutif PUSKAKI Bengkulu, Melyansori mengatakan untuk menyelesaikan persoalan ini harus kembali ke hati nurani seorang pemimpin, \"Konflik itu tidak akan meluas kalau ada kebijaksanaan dari seorang pemimpin (Walikota),\" ucap Melyansori.
Ia menilai seharusnya semua pihak harus dirangkul dalam menyelesaikan masalah ini, dan jangan saling lempar tangan apalagi saling tantang menantang Gubernur dan pihak lainnya. \"Lakukan musyawarah tetapi kuncinya dia (Walikota) langsung dengan berbagai pihak berkepentingan, bukan mengutus kadis, kepala Satpol PP, Wawali dan sebagainya,\" saran Melyansori.
Sementara itu, Tokoh masyarakat lainnya, Panca Darmawan SH, mengatakan jika Pemerintah kota di zaman Helmi-Dedy ini ingin mengangkat pendidikan maka harus selesaikan polemik SDN 62 ini dengan cara yang tidak merugikan siswa itu sendiri. \"Kalau dikomunikasikan dengan baik dan diberikan kepastian tentu ini tidak akan berpolemik, dan anak-anak tetap bisa bersekolah dengan nyaman,\" imbuh Panca. (805/247)