BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Petani Bengkulu masih jauh dari kata sejahtera. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu periode Juli 2019, Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi salah satu tolak ukur kesejahteraan, Bengkulu hanya bertengger di peringkat 7 di Sumatera dengan angka 92,16 persen. Angka tersebut jauh di bawah Aceh yang berhasil mencapai indeks NTP sebesar 100,94 persen (lihat grafis).
Kepala BPS Provinsi Bengkulu, Dyah Anugrah Kuswardani MA mengatakan, dibandingkan Juni 2019, NTP Bengkulu naik 0,33 persen, dari 91,83 persen menjadi 92,16 persen. Meskipun mengalami kenaikan, menurutnya, NTP tersebut masih belum maksimal dan masuk dalam posisi terendah ketujuh se-Sumatera. Sehingga membutuhkan usaha dari berbagai pihak.
\"Perkembangan NTP Bengkulu hingga Juli kemarin masih berada di bawah 100. Keadaan ini menunjukkan jika daya beli petani secara umum belum membaik. Dibandingkan kondisi sebelumnya,\" kata Dyah, kemarin (12/8).
Ia berharap ada kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin produk-produk pertanian di Bengkulu. Agar kesejahteraan petani bisa terus membaik dan tidak akan melemah.
\"Harus ada kebijakan dari pemerintah. Khususnya untuk merumuskan masalah NTP. Agar di bulan berikutnya, NTP bisa mengalami kenaikan,\" ujar Dyah.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bengkulu, Ir Ricky Gunarwan menekankan pentingnya untuk menggenjot industri pengolahan.
Ia tak menampik jika NTP bukan ukuran terbaik menggambarkan kesejahteraan petani. Namun, lanjutnya, NTP merupakan indikator penting yang layak dijadikan indikator kemampuan daya beli petani. Ia pun menyoroti sampai saat ini harga komoditi andalan Bengkulu belum juga pulih. Sehingga menyebabkan terjadinya kontraksi pada pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian Bengkulu.
\"Harga kopi, karet, dan sawit turun lagi. Ditambah harga gabah dan lainnya. Inilah yang menjadi pengaruhnya,\" kata Ricky.
Di sisi lain, Ekonom Bengkulu, Prof Dr Kamaludin MM menuturkan, fenomena menurunnya NTP Bengkulu sudah bisa ditebak dari awal. Mengingat semua produk pertanian yang menjadi andalan Bengkulu seperti kopi, karet, dan kelapa sawit masih belum stabil. Bahkan harganya selalu anjlok, sehingga membuat para petani pun semakin tercekik dan mempengaruhi semangat kerja para petani.
\"Hal ini butuh keseriusan pemerintah. Agar pertanian Bengkulu yang menjadi penopang utama Pertumbuhan Ekonomi Bengkulu bisa terus bergeliat. Ini harus diseriusi dan menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama,\" imbaunya.
Ia menilai, NTP Bengkulu juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan regional Sumatera menempati peringkat ketujuh. Fakta ini menunjukkan bahwa Bengkulu perlu banyak berbenah dalam perbaikan kesejahteraan petani.
Jika NTP di bawah 100 berarti petani mengalami defisit. Dilihat dari harga, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Dilihat dari sisi pendapatan, pendapatan petani turun lebih kecil dari pengeluarannya.
\"Kemampuan tukar produk yang dijual petani di Bengkulu dengan produk yang dibutuhkan dalam produksi dan konsumsi rumah tangga cukup rendah dan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain juga rendah,\" kata Kamaludin.
Harga, sambungnya, merupakan salah satu faktor utama penentu NTP. Pada umumnya, harga ini dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor pasar dan intervensi. Jika faktor pasar menghasilkan harga yang tidak menguntungkan petani, maka petani perlu melakukan spesialisasi dan peningkatan kualitas sehingga biaya produksi bisa ditekan dan margin keuntungan bisa meningkat atau jumlah produksi meningkat.
\"Selain itu, intervensi pemerintah juga bisa diambil selama tidak melukai pasar sejenis, pasar substitusi atau pasar komplementer,\" tutupnya.(999)
//Nilai Tukar Petani di Sumatera No. NTP di Sumatera Provinsi 1. Lampung 100,94 2. Kepulauan Riau 98,78 3. Jambi 97,67 4. Sumatera Utara 96,68 5. Sumatera Barat 93,59 6. Riau 92,40 7. Bengkulu 92,16 8. Sumatera Selatan 89,99 9. Aceh 89,94 10. Kepulauan Bangka Belitung 82,98 Sumber: BPS Juli 2019