BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Akademisi di Bengkulu menyatakan keprihatinan terhadap mahalnya harga tiket maskapai penerbangan. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada perekonomian, akan tetapi bermasalah terhadap sektor pariwisata dan UKM. Akademisi Universitas Prof Dr Hazairin SH, Dr Ir Yulfiperius MSi mengatakan, meskipun Pemerintah Provinsi Bengkulu telah mengadakan pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, akan tetapi hingga kini belum terjadi penurunan harga tiket pesawat di Bengkulu. Bahkan harga tiket masih cukup tinggi.
\"Kita berharap harga tiket pesawat di Bengkulu bisa kembali rendah dan normal, kasihan industri UKM dan Pariwisata di Bengkulu,\" kata Yulfiperius, kemarin (25/2).
Selain merugikan industri UKM dan Pariwisata, harga tiket pesawat yang mahal juga diperkirakan dapat mendorong inflasi daerah yang cukup tinggi. Bahkan pada Januari 2019 lalu, tiket pesawat telah berkontribusi pada inflasi daerah sebesat 0.411 persen.
\"Mahalnya tiket pesawat jelas akan menaikkan inflasi daerah,\" tuturnya.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Bengkulu, Dr Ahmad Badawi Saluy MM mengatakan, harus ada solusi khusus terkait mahalnya harga tiket pesawat, beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh maskapai penerbangan yaitu menurunkan harga tiket pesawat pada batas bawah. Pasalnya hingga kini, hampir seluruh masakapai menerapkan tarif batas atas. \"Seluruh maskapai penerbangan masih menerapkan batas atas, jadi pesawat LCC juga mahal harga tiketnya,\" ujar Ahmad.
Berbeda pendapat, Pakar Ekonomi Universitas Bengkulu, Prof Dr Kamaludin meminta, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk menghapuskan ketentuan tarif batas bawah tiket pesawat. Ketentuan ini dinilai menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat khususnya untuk rute domestik. \"Adanya ketentuan tarif batas bawah mengganggu fleksibilitas bisnis maskapai. Sehingga, maskapai tidak bisa memberikan harga tiket pesawat yang lebih murah kepada konsumen,\" kata Kamaludin.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak mendikte bisnis penerbangan yang ada di dalam negeri. Pemerintah cukup menentukan standar-standar keselamatan penerbangan. Sedangkan soal harga tiket pesawat, biarkan antara maskapai saling berkompetisi. \"Pemerintah enggak boleh dikte bisnis. Tugasnya tentukan standar keselamatan penerbangan. Ini kan harga dibikin tidak fleksibel oleh ketentuan pemerintah. Mereka (maskapai) turunkan harga juga karena tekanan publik,\" ujarnya.
Namun demikian, ia juga meminta pemerintah untuk menelusuri potensi terjadinya praktik oligopoli di dunia penerbangan Tanah Air. Sebab saat ini penerbangan domestik hanya dikuasai oleh beberapa maskapai saja. \"Ini ada potensi persekongkolan tidak? Kok kompak naik-naikkan. Apalagi sekarang Nam dan Sriwijaya saja kan operated by Garuda Group. Jadi kalau dilihat secara tidak langsung, maskapai dalam negeri makin oligopoli, kalau dulu masih ada Batavia, Merpati, macam-macam. Apalagi per rutenya juga dikit sekali,\" tutupnya.(999)