23 Tahun Mengabdi, Harapan jadi PNS Sirna
Jeritan Hati Abdi Negara Pahlawan tanpa tanda jasa. Kalimat inilah yang tepat menggambarkan pengabdian seorang guru khsususnya guru bantu daerah (DBG) di Kabupaten Bengkulu Tengah. Berbagai halangan dan tantangan dihadapi dalam menjalankan tugas. Tapi pengabdiannya seakan-akan tak dihargai. Berikut kisah GBD di Kabupaten Benteng! Bakti Setiawan - Bengkulu Tengah \"BERTAHUN-tahun aku mengabdi, tak dapat dihitung oleh jari. Tapi mengapa sampai saat ini pengabdianku tak kunjung diakui oleh negeri?\" demikian penggalan puisi karya Maryon Eni (50), seorang GBD di Benteng. Ia mulai mengabdikan sebagai guru non PNS sejak tahun 1987 atau sudah 23 tahun. Namun harapannya untuk diangkat sebagai PNS pun pupus sudah. Betapa tidak, dalam Undang Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan, salah satu syarat menjadi PNS maksimal berumur 35 tahun \"Ini tentu saja sangat ironis. Bayangkan sejak memulai karier sebagai guru honorer di SMA PGRI Arga Makmur, Bengkulu Utara tahun 1987 hingga 2000 serta menjadi GBD di SMPN 1 Pondok Kubang Kabupaten Benteng sejak 2006-2016, tak sedikit rintangan telah dihadapi,\" ujar Maryon, kemarin. Seolah tak kenal lelah dan putus asa, perjuangan pun terus ia dilanjutkan demi mendidik putra-putri bangsa. Dengan keterbasan upah atau gaji yang diterima, tak jarang Maryon berhutang ke teman sejawat atau kerabat untuk membayar uang transportasi menuju sekolah yang dia tuju. \"Saya mengawali tugas sebagai guru honorer semenjak tamat SMA PGRI Arga Makmur, di sekolah itu juga saya mengabdikan diri hingga 13 tahun lamanya. Meski dengan gaji yang seadanya, tugas sebagai seorang guru tetap saya lakukan sepenuh hati dan keikhlasan,\" ungkap Maryon. Sempat terhenti mengajar pada tahun 2000 karena mengikuti sang suami yang pindah tugas sebagai PNS Kota Bengkulu, menjadikan wanita asal Desa Tanjung Raman, Kabupaten Bengkulu Utara ini hanya berdiam diri sebagai ibu rumah tangga (IRT) hingga 2006. Akan tetapi, menyakini bahwa guru merupakan tugas mulia, ia pun kembali mengabdikan diri sebagai GBD di SMPN 1 Pondok Kubang, Kabupaten Benteng. Selama itu, tak sedikit perjuangan yang dilakukan oleh ibu dua anak ini untuk menjalankan tugas sebagai guru mata pelajaran muatan lokal di sekolah tersebut. Mulai dari akses jalan yang cukup jauh dari tempat tinggal hingga pemberian gaji yang seringkali mengalami keterlambatan. \"Dalam seminggu, jam mengajar saya mencapai 3-4 hari. Untuk tiba di sekolah, saya harus mengeluarkan uang Rp 15 ribu/hari untuk membayar ongkos angkot serta jasa tukang ojek. Untuk tahun 2016 ini saja, gaji kami belum juga dibayar,\" ungkapnya. Diterpa badai rintangan, ia mengaku akan tetap berjuang dan mendedikasikan diri sebagai GBD. Meski begitu, jika memang nantinya muncul kebijakan pemerintah daerah (pemda) untuk tidak lagi memperpanjang SK GBD, ia mengaku ikhlas untuk mengakhiri perjuangan yang telah ditempuh selama ini. \"Jangan biarkan kami terus mengabdi tanpa kepastian. Separuh umur saya sudah diluangkan untuk mendidik anak bangsa. Jika memang GBD akan diberhentikan, beri kejelasan, saya akan berhenti,\" demikian Maryon.(***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: