Turunkan Bunga, OJK Panggil Bank
JAKARTA, BE – Pemerintah kian serius mendorong perbankan agar menurunkan suku bunga untuk memberi dorongan pada perekonomian. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan, hal itu kembali disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kabinet terbatas. ”Pak Presiden ingin (penurunan suku bunga) itu terealisasi,” ujarnya setelah mengikuti rapat kabinet terbatas di kantor presiden kemarin (28/1). Menurut Muliaman, penurunan BI rate 25 basis poin menjadi 7,25 persen seharusnya memang direspons perbankan dengan penurunan suku bunga, setidaknya pada triwulan I 2016 ini. Apalagi, lanjut dia, biaya dana (suku bunga tabungan dan deposito) juga sudah turun sehingga suku bunga kredit seharusnya juga mengikuti. ”Maka, terkait isu (bunga) ini, kami akan panggil masing-masing bank,” katanya. Meski tidak bisa menjanjikan, Muliaman mengaku optimistis bahwa suku bunga perbankan di Indonesia akan turun sehingga bisa menjadi dorongan bagi perekonomian nasional. Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Budi Gunadi Sadikin beranggapan suku bunga kredit yang rendah sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tanah air. Bahkan, hingga posisi single digit atau di bawah 1 persen seperti yang diinginkan para pelaku usaha. Meski regulator telah menurunkan suku bunga acuan (BI rate), hal itu bukanlah satu-satunya pertimbangan bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit. ”Saya setuju bunga kredit di Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara lain. Kalau ingin mendorong kompetitif, itu memang harus diturunkan,” ujarnya. Salah satu pertimbangan perbankan, yakni risiko fundamental, adalah soal inflasi. Budi menilai, masih ada kerentanan lonjakan inflasi dalam beberapa waktu ke depan, khususnya dari sisi pangan. Meski pada 2015 inflasi cukup terkendali. ”Sulit kami turunkan kalau risiko inflasi akan melonjak. Karena ketika inflasi melonjak, itu akan menekan cost perbankan. Kemudian, hal yang sangat umum kalau nasabah besar minta deposito bunga tinggi,” paparnya. Volatilitas nilai tukar rupiah juga menjadi perhatian. Meski depresiasi nilai tukar tidak seburuk negara berkembang lainnya, itu tetap akan berpengaruh pada perbankan. Bila rupiah kembali melemah, bunga kredit bisa naik lagi. ”Diharapkan tidak ada gejolak, terutama kurs. Kalau naik lagi ke 14.000, bunga pasti naik lagi,” tambahnya. Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andri Asmoro menyatakan bahwa pihaknya telah memperkirakan penurunan BI rate tersebut sesuai dengan indikator ekonomi domestik. ”Memang di awal tahun ini kami ekspektasikan ada penurunan BI rate. Kami harapkan di kisaran 7 persen tahun ini,” ujarnya baru-baru ini. Dengan ekspektasi tersebut, praktis perbankan akan merespons kebijakan itu dengan melakukan transmisi penurunan suku bunga kredit maupun simpanan. Andri menyatakan bahwa kebijakan tersebut segera diimplementasikan sekitar kuartal kedua tahun ini. ”Kalau suku bunga deposito, biasanya butuh waktu penyesuaian 1 bulan sampai 3 bulan. Sedangkan suku bunga kredit di kisaran 3 bulan sampai 6 bulan,” jelasnya. Pengamat ekonomi Aviliani mengungkapkan bahwa penurunan suku bunga kredit maupun simpanan merupakan mekanisme pasar, bukan lagi soal suku bunga acuan (BI rate). Menurut dia, penurunan suku bunga kredit maupun simpanan pada bank-bank ditentukan oleh besar atau tidaknya likuiditas pada bank-bank tersebut. ”Bunga bank-bank kalau saya lihat sangat bergantung pada banknya. Kalau banknya punya likuiditas yang banyak, cenderung rendah deposito dan kreditnya. Tapi, kalau tidak punya likuiditas, ya cenderung mahal,” urainya. (owi/dee/c6/tia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: