Serba Sulit untuk Freeport yang Serba Berat
Oleh: Dahlan Iskan Relakah Anda bila saat in negara kita mengeluarkan uang sekitar Rp 20 triliun untuk membeli 10 persen saham Freeport Indonesia (FI)? Mungkin pertanyaan itu pertama-tama harus dijawab oleh mereka yang selama ini mendesak pemerintah agar memaksa Freeport mengurangi sahamnya di FI. Kini (minggu lalu) justru Freeport yang secara resmi menawarkannya ke pemerintah. Freeport minta agar pemerintah mengambil saham itu dengan nilai USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Hayo! Bagaimana pemerintah harus menjawab tawaran itu? Sungguh serba salah. Kalau saya sih jelas: tidak rela. Dengan membayar Rp 20 triliun, ditambah saham lama, pemerintah baru memiliki 20 persen FI. Masih sangat minoritas. Tidak punya kekuasaan apa-apa di perusahaan itu. Di lain pihak laporan-laporan media di Amerika mengerikan. Dilaporkan, kondisi keuangan Freeport tahun-tahun belakangan ini sangat-sangat mengecewakan. Labanya terus memburuk. Tahun 2014 tinggal 482 juta dolar. Bahkan tahun lalu sudah rugi besar: USD 1,8 miliar! Rugi lebih Rp 20 triliun. Ini berarti kita dihadapkan pada pertanyaan sepele: mengapa membeli saham perusahaan rugi? Apalagi, kelihatannya Freeport masih akan terus merugi beberapa tahun ke depan. Mengapa kondisi Freeport begitu buruk? Mengapa tidak seperti yang dibayangkan umumnya orang Indonesia? Mengapa tidak makmur seperti gambaran video emas yang dicurahkan dari perut bumi Papua? Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kian ditinggalkannya koteka oleh pria-pria jantan Papua. Itu lebih karena Freeport terbelit oleh ambisinya sendiri. Ambisi Freeport luar biasa. Tahun 2013 lalu Freeport ingin tidak hanya jadi raja tembaga dan emas. Ia ingin juga menjadi raja minyak. Dengan cara yang afdruk kilat. Sebuah perusahaan minyak terbesar ke-4 di California, Plains Company, dibeli. Dengan harga USD 16,3 miliar. Atau sekitar Rp 200 triliun. Itu termasuk untuk mengambil alih utang Plains sebesar USD 9,7 miliar. Harga mahal itu diterjang karena Plains memiliki produksi minyak mentah hampir 300 juta barel perhari. Bahkan potensi produksinya bisa mencapai lebih 2 miliar barel perhari. Sial. Sial sekali. Begitu transaksi ditandatangani, harga minyak mentah terjun bebas. Dari USD 80 menjadi USD 40-an. Sial. Begitu sialnya. Perut siapa yang tidak mulas. Begitu pandainya pemilik Plains: menjual perusahaan ketika nilainya masih tinggi. Begitu sialnya atau cerobohnya Freeport: membeli perusahaan minyak raksasa yang sedang di bibir jurang. Rupanya Freeport salah perhitungan. Atau terlalu banyak berharap. Memang harga komoditi tambang seperti tembaga dan nikel yang menjadi andalannya terus menurun. Sudah enam tahun tidak naik-naik. Semua perusahaan tambang, termasuk PT Antam, termehek-mehek. Waktu itu harga minyak masih bagus. Rupanya Freeport mau mencari tanjakan lain. Meski tanjakan itu berkelok. Masuk bisnis minyak. Tidak tahunya malah kian terperosok. Maka di New York, tempat saham Freeport diperdagangkan di bursa, beritanya negatip melulu. Tahun-tahun belakangan ini judul-judul berita yang terkait dengan Freeport hanya serem dan serem sekali: Freeport menuju kematian, atau masih bisa diselamatkankah Freeport, atau Keuangan Freeport yang mengerikan. Serem dan suram. Disebutkan bahwa seluruh aspek usaha Freeport memburuk. \"Multiple weakness in multiple area\": Omsetnya turun, labanya memburuk, ratio-ratio keuangannya tidak lagi masuk akal. Bahkan cashflownya pun menghadapi kegawatan. Sampai kapan kondisi seperti itu akan berlangsung? Tergantung. Pertama, tergantung pada jawaban pemerintah soal tawaran Rp 20 triliun tadi. Kalau pemerintah mengabulkannya, cashflow Freeport sedikit tertolong. Sedikit. Kedua, tergantung apakah pemerintah akan memperpanjang kontrak Freeport. Kalau pemerintah mau memperpanjangnya kondisi Freeport bisa sedikit membaik. Setidaknya outlook jangka panjangnya. Apalagi kalau perpanjangannya diijinkan sekarang. Wow. Harga saham Freeport bisa sedikit naik. Kondisi Freeport bisa seperti pasien yang dapat infus: belum tentu sembuh tapi setidaknya belum segera mati. Ketiga, tergantung harga minyak mentah. Kalau harga minyak mentah segera membaik, harga sahamnya akan ikut naik. Ada nafas baru. Tapi ada tapi tapinya. Di AS baru ditemukan sumber gas baru yang disebut shale-gas. Harga gas menjadi sangat murah: hanya USD 3/mmbtu. Kayaknya sulit membayangkan harga minyak mentah bisa segera naik drastis. Apalagi perusahaan minyak yang dibeli tadi adalah perusahaan minyak dari Texas juga. Freeport (nama ini diambil dari nama kota kecil di Texas yang terletak di pantai Teluk Mexico) benar-benar dalam posisi berat. Di Amerika. Dan di Indonesia. Kota Freeport sendiri sekarang berpenduduk 11.000 jiwa dan masih jaya. Namun perusahaan yang awalnya tambang sulfur yang didirikan di kota itu tahun 1912 kini lagi berjuang melawan kesulitan. Bahkan Chairman-nya yang legendaris itu James Moffett, sampai menyerah. Meletakkan jabatan. Cadangan emas yang sangat besar di Papua sendiri ditemukan oleh seorang pengelana Belanda di tahun 1950-an. Freeport mendengar temuan itu. Dan berusaha menguasainya. Tahun 1960 Freeport sepakat dengan si Belanda. Tahun 1965 Bung Karno yang anti Amerika jatuh. Soeharto naik. Atau dinaikkan. Tahun 1967 resmilah Freeport mulai melakukan drilling. Tahun 1988 mulai menghasilkan emas dan tembaga. Luar biasa hebatnya. Mudah mengerjakannya. Tambang itu di permukaan tanah Papua. Tinggal mengeruknya. Bukan di perut bumi yang harus menggalinya. Tahun 2021 kontrak dengan Freeport itu akan berakhir. Kalau tidak diperpanjang Freeport akan 100 persen milik Indonesia. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki saham 10 persennya. Akan menjadi serba enak? Jangan dulu dibayangkan serba enaknya. Pertama, mungkin Amerika marah. Entah apa bentuk kemarahannya. Dan entah kita mampu menanggungnya. Kedua, mungkin saja sejak sekarang Freeport tidak mau keluar uang untuk pemeliharaan tambang. Toh sudah akan lepas dari tangannya. Kalau itu terjadi, kelak, tepat di saat tambang itu menjadi milik Indonesia kondisinya sudah tidak bagus lagi. Diperlukan uang puluhan triliun rupiah untuk menghidupkannya kembali. Apalagi tambang yang di permukaan tanah sudah habis. Sudah harus menggali tambang di perut bumi. Lebih mahal. Dengan harga jual nikel dan tembaga seperti sekarang, belum tentu bisa menghasilkan uang seperti yang kita bayangkan. Bisa-bisa kita harus mengundang investor asing lagi untuk melanjutkannya. Mungkin Freeport lagi. Atau Freeport yang lain. Kalau tidak kita siapkan sekarang. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: