George Carlin dan Cognitive Dissonance

George Carlin dan Cognitive Dissonance

  Oleh Azrul Ananda BINTANG stand-up comedy favorit saya: George Carlin. Istilah marketing favorit saya: Cognitive dissonance. *** Saya punya pengakuan. Ada dua cita-cita saya yang tidak tercapai. Pertama, bikin film komedi sebelum umur 30. Kedua, dan ini cita-cita saya sejak kuliah pada akhir 1990-an dulu: Jadi stand-up comedian… Selain hobi nonton sitcom, saya sangat suka nonton stand-up comedy. Favorit saya ada beberapa. Misalnya, Eddie Izzard, Richard Jeni, Jerry Seinfeld, dan Jeff Foxworthy. Tapi, yang paling saya suka: George Carlin. Yang paling saya suka itu sudah meninggal karena serangan jantung pada 2008, pada usia 71 tahun. Dia termasuk paling top dalam sejarah komedi Amerika, dan masih tampil di panggung seminggu sebelum meninggal. Kenapa suka dia? Mungkin karena waktu itu (kuliah) saya sedang dalam fase pencarian jati diri. Mempertanyakan segala hal tentang eksistensi saya, mulai keseharian sampai agama. Carlin memang banyak bicara, bercanda, mengkritik, mempertanyakan, hal-hal yang ’’berat’’. Tapi, konteksnya tetap keseharian dan terus mengingatkan kita untuk tetap simple dalam hidup, tetap konsisten dan konsekuen dalam ucapan serta perbuatan. Gaya bercandanya banyak menggunakan kata-kata ’’kotor’’, dan pada 1970-an dia termasuk berperan dalam penegasan regulasi pemakaian kata-kata ’’kotor’’ di dunia broadcasting Amerika. Namun, poin-poinnya jelas. Kenapa tiba-tiba nulis soal George Carlin? Pertama, karena di Indonesia mungkin gak banyak yang tahu George Carlin, jadi saya pengin sharing hehehehe… Padahal, Anda mungkin pernah mendengar suaranya. Bagi yang pernah nonton film animasi Cars buatan Pixar/Disney, Carlin ikut mengisi suara di situ. Jadi suara Fillmore, sebuah VW Microbus (Combi). Coba tonton lagi film itu, pelat nomor Fillmore adalah tanggal lahir sang bintang komedi (51237). Kedua, alasan yang mungkin jauh lebih penting. Belakangan, saya mulai concern lagi dengan omongan-omongan yang berkaitan dengan politik negeri kita ini. Menyesal memilih lah, atau menyesal-menyesal lain yang berkaitan dengan pemilihan tahun lalu. Ting! Saya langsung ingat salah satu cuplikan penampilan Carlin. Walau punya semua DVD-nya, sekarang enak tinggal lihat lagi cuplikan itu di YouTube. Menonton lagi, saya pun tertawa lagi. Padahal, cuplikan ini dari 1996, saat Carlin tampil di kota kelahirannya, New York. Semoga ini tidak dianggap plagiat, tapi saya akan mengutip penuh cuplikan itu di bawah ini. Beberapa kalimat saya modifikasi sedikit. Kata ’’Amerika’’ saya ganti dengan ’’Indonesia’’. Yang penting arti dan maksudnya tetap sama. ’’Saya banyak komplain, tapi saya tidak komplain tentang satu hal: Politikus. Padahal, semua komplain soal politikus. Semua bilang politikus itu busuk. Lho, lalu orang kira para politikus itu datang dari mana? Mereka tidak jatuh dari langit. Mereka tidak datang dari dimensi lain. Mereka datang dari orang tua Indonesia dan keluarga Indonesia. Mereka besar di rumah Indonesia, sekolah Indonesia, tempat ibadah Indonesia, dan mereka dipilih oleh warga negara Indonesia. Mereka (politikus) adalah yang terbaik yang bisa kita hasilkan. Merekalah yang dihasilkan oleh sistem yang kita miliki. Garbage in,garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar). Kalau masyarakatnya mementingkan diri sendiri, maka pemimpinnya pun akan mementingkan diri sendiri. Jadi mungkin, bukan politikus yang busuk. Mungkin ada yang lain yang busuk, seperti masyarakat…’’ Lebih lanjut, Carlin bilang, kalau kita ikut memilih, kita pun tidak boleh komplain. ’’Kalau Anda memilih, dan Anda memilih politikus yang tidak mampu dan tidak jujur, lalu mereka mendapatkan jabatan dan merusak segalanya, maka Anda-lah yang bertanggung jawab atas segala hal yang mereka lakukan. Anda yang memilih mereka, Anda-lah penyebab segala masalahnya. Jadi, Anda tidak punya hak untuk komplain…’’ Hehehe… Selera komedi saya waktu kuliah cukup berat, ya? Tapi, semoga pembaca ikut merasakan betapa ’’berisi’’-nya omongan Carlin tersebut. Setelah membaca itu, berarti kita tidak boleh komplain dong? Nah, ini yang berat. Kuliah di jurusan marketing, istilah favorit saya dari mata kuliah Buyer Behavior adalah ’’cognitive dissonance’’. Definisinya bisa panjang kalau ngikut ilmu psikologis. Intinya, cognitive dissonance itu semacam ’’penyesalan’’ setelah kita membeli atau melakukan sesuatu. Kenapa diajarkan di marketing? Supaya ketika menawarkan produk kita bisa menyampaikan hal-hal khusus yang kelak bisa meminimalkan terjadinya cognitive dissonance setelah transaksi dilakukan. Naaah, kayaknya lagi banyak orang Indonesia yang sedang cognitive dissonance gara-gara pemilihan tahun lalu… Lalu, kita harus bagaimana dong? Wkwkwkwkwkwkwkwkwkkk…. Terserah! Kalau positif, ya harus merelakan. Yang terjadi terjadilah. Terus mengawal supaya kalau sampai ’’kejadian’’, buruknya atau efek buruknya tidak berlebihan atau berkepanjangan. Sambil menunggu kesempatan memilih lagi, ya mungkin kita memulai dari diri sendiri dengan yang kecil-kecil, ya? Seperti kata Carlin, kalau kita malas, kelak kita akan menghasilkan yang malas juga kan? Kalau kita ngomelan, ya kelak kita hanya menghasilkan ngomelan-ngomelan juga. Semoga kelak kita semua jadi lebih pintar, supaya kelak kita semua jadi lebih pintar memilih, dan kelak kita semua memilih orang-orang yang benar-benar pintar. Semoga… (*) Penulis adalah Dirut Jawa Pos Koran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: