Konflik Manusia dengan Harimau, Bengkulu Peringkat Kedua
BENGKULU, BE - Konflik antara manusia dengan harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) di Bengkulu cukup tinggi, bahkan berada pada peringkat kedua di Pulau Sumatera. Jumlah kasus konflik manusia dengan harimau di Bengkulu sendiri mencapai 82 kasus dalam kurun waktu sejak 2007 hingga 2011 lalu.
Sedangkan peringkat pertama atau kasus konflik yang paling tinggi terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 106 kasus. Sementera konflik tertinggi ketiga terjadi di Provinsi Jambi sebanyak 70 kasus, berikutnya disusul Provinsi Lampung 47 kasus, Provinsi Sumatera Barat 36 kasus, Provinsi Kepulauan Riau 26 kasus, Provinsi Sumatera Utara 11 kasus dan Sumatera Selatan, 2 kasus. Hal ini disampaikan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan RI, Dr Ir Novianto Bambang Wawandono MSc dalam rapat Pertemuan Tim Koordinasi dan Tim Satuan Penanggulangan KOnflik antara Manusia dan Satwa Liar di ruang Rapat Kantor Gubernur Bengkulu, kemarin.
\"Dalam kurun waktu 5 tahun, terhitung sejak tahun 2007 hingga 2011 tercatat konflik Harimau Sumatera dengan masyarakat sebanyak 395 kasus dari sembilan provinsi yang ada di Sumatera,\" ungkapnya. Novianto mengatakan, akibat dari konflik tersebut menimbulkan kerugian yang tak sedikit, seperti kerugian harta benda, keselamatan jiwa manusia dan korban satwa. Dan itu terbukti banyaknya ditemukan satwa yang mati akibat diracun, ditembak, dan disengat listrik oleh masyarakat yang merasa terganggu dengan keberadaan hewan langka tersebut.
”Penanganan konflik ini memang dinilai masih rendah, sehingga ke depan perlu dilakukan peningkatan,” aku Novianto.
Menurutnya, ada beberapa penyebab terjadinya konflik, seperti habitat satwa liar bersinggungan atau tumpang tindih dengan areal pemukiman, perkebunan serta pertanian masyarakat. Selain itu, juga dikarenakan daya dukung kawasan tidak memadai, seperti terjadi kebakaran dan perambahan kawasan hutan secara massal dilakukan oleh masyarakat.
”Sebanyak 70 hingga 80 persen populasi satwa liar berada di luar kawasan konservasi. Sedangkan kawasan hutan juga telah dikonversi untuk pembangunan, sehingga banyak habitat yang hilang terdegradasi dan terfragmentasi,” paparnya. Penanganan konflik manusia dan satwa liar, lanjutnya, dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, lembaga mitra atau NGO terkait, tenaga medis, sektor swasta dan masyarakat umums. Hal ini tertuang dalam Permenhut No.P.48/Menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar. ”Keikutsertaan pihak terkait dalam penyelamatan satwa liar perlu diakomodir secara jelas dan dikoordinir dengan baik sehingga konflik tersebut bisa dimanimalisir bahkan dihentikan,\" tukasnya.(400)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: