Inikah Rasanya Rumah Tangga

Inikah Rasanya Rumah Tangga

Tiba-tiba pagi ini aku terduduk lemas di dapur. Entah pikiranku yang nakal atau aku tengah membandingkan suasana ketika aku masih sendiri setahun lalu dan sekarang saat statusku sudah menjadi istri Kurnia. Aku masih ingat ketika aku masih sendiri, mengontrak sebuah rumah di sebuah komplek perumahan. Aku memilih komplek perumahan karena menurutku lebih aman, maklum aku pekerja. Waktuku lebih banyak di luar rumah dan lebih sering pulang malam pula. Suatu hari musim hujan dan salah satu genteng rumah kontrakanku bocor. Karena aku tinggal sendiri, maka aku harus membetulkannya sendirian. Beruntung aku dibekali pengetahuan ini secara tak sengaja oleh ayahku. Saat ada di atas atap salah seorang tetangga yang melihatku nangkring di atas atap nyeletuk, “Makanya cari suami, biar gak perlu betulin genteng sendiri. Celetukan yang biasa memang, tapi sempat menohok perasaanku. Aku baru tersadar bahwa usiaku sekarang memasuki 35 tahun, dan aku tak punya seorang calonpun untuk kujadikan suami. Pernyataan seperti di atas bukan sekali itu saja aku terima. Beberapa hari lalu saat salah satu lampu di rumah mati, aku ke rumah Bu Hardjo untuk meminjam tangga guna mengganti lampu. Entah kasihan atau ingin menggodaku, ia menawarkan agar suaminya saja yang menggantikan lampu di rumahku. “Ah, gak usah bu,” tolakku. “Saya bisa sendiri, sudah biasa kok,” tambahku. “Ya jangan nak. Bahaya naik-naik tangga begitu,” ucap ibu. Meski aku menolak, Bu Hardjo tetap keukeuh. Akhirnya aku mengijinkan saja Pak Hardjo menggantikan lampu terasku. Karena aku tinggal sendiri, otomatis semua pekerjaan rumah tangga aku lakukan sendiri. Aku tidak memakai jasa pembantu. Gajiku belum memadai untuk menggaji seorang pembantu. Aku bekerja dari hari Senin sampai Jumat, sementara Sabtu dan Minggu aku manfaatkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah dan kalau masih ada tenaga aku memasak. Kalau tidak, aku cukup jalan sebentar ke luar komplek untuk membeli makanan. Saat weekend itu lebih banyak aku gunakan untuk beristirahat. Kalau pekerjaan rumah sudah selesai, aku habiskan sisa waktuku untuk tidur atau nonton film koleksiku. Kemudian aku bertemu Kurnia. Teman lama yang kemudian menjadi suamiku. Salah satu pernyataannya yang melekat di kepalaku saat kutanyakan kenapa memilihku menjadi istrinya. “Kamu mandiri,” ucapnya. Saat aku terduduk lemas di dapur ini, pernyataan tersebut kembali terngiang. Apakah lantas kemandirian itu kemudian membuatnya tak melakukan apa-apa? Tadi pagi aku terbangun. Seperti biasa, aku belanja dan masak. Sejak menikah, aku biasakan untuk memasak tiap hari. Meski hanya berdua, kalau memasak akan menghemat pengeluaran kami. Ini perhitunganku. Di tengah aku memasak, gas habis. Saat aku hendak membuat teh untuk suamiku, air mineral di galon juga habis. Kelelahan bercampur panik, aku hanya bisa bersandar ke dinding dapur. Dengkulku mulai gemetar, demikian juga tanganku. Ini kerap terjadi kalau aku menahan marah, di samping itu aku juga belum sempat sarapan. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan motor. Bolak balik aku ke supermarket terdekat untuk membeli gas dan air mineral. Sampai di rumah suamiku belum bangun juga. Ingin rasanya aku berteriak di telinganya dan mengatakan agar ia membantuku membeli gas dan air mineral, memasang gas ke kompor dan menempatkan galon di atas dispenser. Tapi itu tak aku lakukan, aku membangunkannya dengan lembut “Sayang, bangun. Aku mau minta tolong,” kata aku. Kurnia memang bangun dan langsung menanyakan tehnya. “Kok gak ada teh, sih?” tanyanya kepadaku. “Galonnya masih di atas motor, gimana aku mau buatkan teh? Aku juga belum selesai masak, gasnya keburu habis,” tegas aku. “Ok, aku ke kamar mandi sebentar ya,” katanya. Tapi kata “sebentar” itu tak terbukti. Hampir seperempat jam aku menunggu, Kurnia tak kunjung keluar dari kamar mandi. Kesal, jengkel, marah, aku menurunkan sendiri galon air mineral sekaligus mengangkatnya sendiri ke atas dispenser. Gas juga aku pasang sendiri. Aku melanjutkan kembali prosesi memasak yang sempat tertunda. Saat Kurnia keluar dari kamar mandi, tak ada selera lagi untuk menyapanya. Aku hanya menatapnya tajam. Kami berangkat kerja bareng, tapi aku memintanya berhenti di suatu cafe. “Aku ingin bicara, gak lama kok, paling setengah jam, ada waktu?” tanyaku. Kurnia hanya mengangkat bahu, tapi mengarahkan mobil ke cafe yang kutunjuk. Aku tak berselera makan, tapi kulihat Kurnia malah memesan makanan. Sembari menunggu pesanan Kurnia datang, aku langsung memberondongnya. “Aku ingin minta penjelasan soal tadi pagi,” tanya aku. “Soal apa?” jawabnya. “Keberatan aku minta bantuan angkat galon dan gas?” celetuk aku. “Ah, nggak kok,” jawabnya dengan santai. “Kenapa harus berlama-lama di kamar mandi? Kan kamu tahu aku sedang masak dan membutuhkan gas saat itu juga?” tanya aku dengan sedikit kesal. “Iseng aja,” jawabnya lagi dengan santai. “Sekarang aku tanya, apa yang sudah kamu lakukan untuk rumah tangga kita?” tegas aku. “Sebagai suami aku kerja dan punya penghasilan?” kata Kurnia yang terlihat tersinggung. Aku mengeluarkan kertas dan memintanya menulis sesuatu. “Coba kamu hitung gaji kamu dan tagihan kartu kreditmu,” pintaku. Kurnia menurut, saat melihat hasilnya ia bengong. “Kok cuma segini?” tanya aku. “Cuma segitu yang kita makan, kalau aku gak kerja,” ucapnya. “Lantas, maksudmu apa?” bicara aku dengan nada sedikit keras. “Anggap saja aku sudah membantumu dengan ikut mencari nafkah untuk kelangsungan rumah tangga kita, tapi kepikiran gak dalam kepalamu untuk membantuku dalam ngurus rumah tangga? Aku minta tolong angkatin gas dan galon kamu masih enggan. Kemarin lampu kamar mandi mati aku juga yang ganti, sloter pintu belakang rusak aku juga yang ganti. Lantas apa bedanya? Sebelum menikah aku melakukan segalanya sendiri setelah menikah apa harus sendirian juga? Apa memang kehidupan pernikahan itu seperti ini? Kalau begini terus dimana posisi kamu?” ucap aku lebih keras. Kulihat Kurnia tergagap. “Ken, bukan maksud aku begitu,” ujar kurnia dengan nada rendah. “Sorry, kali ini aku tak mau menerima alasan dalam bentuk apapun, just make yourself usefull for us,” tutup Kunria. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: