Sosok Pemimpin Masa Depan yang Ideal

Sosok Pemimpin Masa Depan yang Ideal

Drs Agus Joko Purwadi MPd

JALAN menuju demokrasi masih terlalu panjang dan terjal. Hal itu terbukti pemilu sebagai salah satu indikator demokrasi, apapun tingkat pemilihannya, seperti: pileg, pilpres, pilgub, pilwakot, ataupun pilbup belum dapat sepenuhnya dapat berlangsung secara tertib, jujur, rahasia, bersih dan adil. Pemilihan dikatakan belum tertib karena hampir setiap penyelenggaraan pemilihan masih diwarnai dengan berbagai kecurangan dan pelanggaran yang berujung pada ketidakpuasan bahkan kerusuhan. Pemilihan dikatakan belum bersih dan jujur karena hampir setiap penyelenggaraan pemilihan selalu diwarnai money politics. Di berbagai daerah dan di berbagai tempat ditemukan berbagai bentuk pelanggaran dengan berbagai istilah seperti curi start kampanye, kampanye terselubung, money politics, manipulasi (pengelembungan) suara, memilih di dua tempat atau lebih, “serangan fajar”, dan sebagainya. Semua itu lagi-lagi berujung pada ketidakpuasan, bahkan berujung pada kerusuhan. Produk dari pemilihan seperti itu mungkinsaja memuncukan sosok pemimpin yang tidak akomodatif, aspiratif, dan representatif terhadap kepentingan dan harapan masyarakat, bangsa dan negara dalam arti luas. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, tulisan ini mencoba mengemukakan rumusan alternatif sosok pemimpin masa depan yang ideal. secara garis besar sosokpemimpin masa depan yang ideal adalah mereka yang memiliki visibilitas, integritas moral, kredibilitas, akseptabilitas, elektabilitas dan kapabilitas. Penjelasan karekteristik tersebut dapat dikemukakan berikut ini: 1. Visibilitas Sosok pemimpin masa depan yang ideal adalah mereka yang memiliki visibilitas. Pemimpin yang memiliki visibilitas adalah pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas. Kejelasan visi dan misi akan dapat dilihat melalui program yang mereka ajukan. Program dimaksud bukan sembarang program dalam arti masih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Fisibel, realistis, kompetitif, prospektif, praktis/ fungsional, humanistis, akuntabel, dan rasional. semua syaraat itu harus dipertimbangkan masak-masak oleh calon pemimpin sebelum dan pada saat menyusun dan merancang suatu program. Suatu program dikatakan fisibel (feasible) jika dapat dijalankan, dikerjakan, dan diselesaikan (operasional). Mengapa harus visibel? Sebab tidak sedikit program (pembangunan) yang tidak dapat diselesaikan. Hal itu terjadi karena dana yang dimiliki tidak berimbang/ sepadan dengan besarnya program (proyek), atau dengan kata lain besar pasak daripada tiang. Suatu program dikatakan realistis dalam arti bukan atas dasar hasil pemikiran yang terlintas sesaat, tetapi berdasarkan hasil kajian/ studi kelayakan dalam waktu yang relatif lama, mendalam, dan komprehensif. Suatu program dikatakan kompetitif jika program tersebut mampu bersaing dan mampu menunjukkan kelebihan atau keunggulan dibandingkannya jika dibandingkan dengan program-program kompetitor lainnya. Suatu program dikatakan prospektif jika berorientasi dan berdampak positif pada kehidupan masa depan, bukan hanya kekinian saja. Suatu program dikatakan praktis/ fungsional dalam arti bermanfaat/ dapat dimanfaatkan bagi masyarakat banyak, bukan hanya bermanfaat bagi segelintir orang saja. Selain itu, program tersebut juga harus dapat dimanfaatkan untuk memecahkan problem yang dihadapi kehidupan sehari-hari masyarakat banyak. Sebuah program dikatakan humanistis jika bersifat manusiawi. Syarat humanistis sebuah program harus dipenuhi, sebab selama ini tidak sedikit (praktik-praktik pelaksanaan) program (pembangunan) yang tidak manusiawi: seperti penggusuran paksa, tanpa ada ganti kerugian yang memadai. Sebuah program ini disebut measurable dan evaluable jika indikator tigkat keberhasilannya dapat diukur dan dievaluasi. Sebuah program disebut accountable jika penggunaan dananya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Syarat akuntabilitas sebuah program harus dapat dipenuhi sebab sebab tidak sedikit program yang penggunaan dananya tidak jelas, entah karena program itu sendiri fiktif atau mark up. Sebuah program disebut rasional jika program tersebut disusun berdasarkan pertimbangan akal. Syarta rasionalitas sebuah program harusdipenuhi sebab tidak sedikit program yang kelihatannya megah dan “wah”, tetapi pelaksanaan, penyelesaian, dan pendanaannya bermasalah.

2. Integritas Moral Sosok pemimpin yang ideal akan bekerja dengan berlandaskan nilai-nilai moral spiritual. Mereka akan mengaktualisasikan, mengimplementasikan, mengaplikasikan, dan meginternalisasikan nilai-nilai tersebut di segala bidang kehidupan. Hal itu tercermin dalam sikap laku, tindak tanduk, budi bahasa, dan amal perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah sosok pemimpin yang rasional, jujur, adil, berwibawa, rendah hati, merakyat, tahan kritik, tidak emosional, dan masih ada lagi sejumlah ciri positif yang tidak dapat disebutkan di sini. Mereka bukanlah sosok pendendam terhadap para pengkritik dan lawan politiknya sekalipun. Bahkan mereka mampu/ dapat bekerja sama dan menyerap ide-ide dan energi positif para pengritik dan lawan politiknya. Bagi mereka pekeraan memimpin adalah suatu amanah yang harus mereka pertanggungjawabkan tidak hanya kepada rakyatnya, tetapi juga kepada Tuhannya. Pemimpin seperti itu akan selalu menjaga keseimbangan antara kehidupan: fisik-psikis, lahir-batin, jasmani-rohani, mikrokosmos-makrokosmos, imanen-transenden, dan dunia-akhirat.

3. Kredibilitas Sebenarnya kreadebilitas merupakan cirri yang inherent di dalam integritas moral.Ciri ini mendapatkan tekanan tersendiri karena tidak sedikit pemimpin yang begitu terpilih menjadi pemimpin lupa akan janji-janji politiknya, baik yang mereka ucapkan ataupun yang mereka programkan. Dengan kata lain, sosok pemimpin yang kredibel adalah sosok pemimpin yang dapat dipercaya dan berpegang teguh pada jani. Janji itu mereka rasakan sebagai hutang dan sumpah yang tidak hanya harus mereka pertanggungjawabkan kepada rakyat, tetapi yang lebih penting juga harus mereka pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sosok pemimpin yang memiliki integritas moral dan kreadibilitas tidak pernah terlihat skandal, criminal, ataupun masalah-masalah yang terkait dengan kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme (KKKN). Jangankan mereka terlibat,terindikasi pun tidak. Mereka takut azab Tuhan yang akan dilimpahkan padanya sampai terlibat pada permasalahan tersebut.

4. Akseptabilitas Seorang pemimpin dikategorikan akseptabel jika ia dapat diterima oleh dan bisa bekerja sama dalam hal yang positif dengan berbagai kelangan, kelompok, golongan, partai atau suku manapun. Dia tidak Xenophobis, tidak sectarian, tidak eksklusif, tidak etnosentris, tidak chauvinis, dan terbuka terhadap relitas bahwa dunia kehidupan adalah beragam (multicultural) jika ditinjau dari aspek adat istiadat, kultur, perilaku/ watak,ataupun pandangan hidup mereka. Seorang pemimpin dikatakan tidak Xenopobis jika dia tidak merasa takut, khawatir, curiga terhadap kedatangan dan keberadaan orang, suku, maupun bangsa lain di daerahnya, sepanjang mereka memiliki komitmen terhadap kemajuan dan pembangunan daerah yang mereka datangi ataupum mereka tempati. Seorang pemimpin disebut tidak ekslusif jika dia tidak menjadikan keluarga, kelompok, golongan, partai, dan sukunya sebagai keluarga, kelompok, golongan, partai, ataupun suku yang harus mendapatkan perlakuan khusus maupun istimewa. Seorang pemimpin dikatakan tidak sektarian jika ia tidak membedakan-bedakan, tidak memilah memilih orang berdasarkan atas: sekeluarga atau tidak, sekelompok atau tidak, segolongan atau tidak, separtai atau tidak, ataupun sesuku atau tidak. Seorang pemimpin yang tidak sektarian dan tidak eksklusif akan memperlakukan semua sama, tidak pandang dari kelompok, golongan, partai, atau suku manapun. Kalaupun diharuskan untuk memilah ataupun memilih, dia akan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip kompetensi, profesionalitas, dan the man on the right place. Seorang pemimpin layak dikatakan tidak etnosentris jika ia memiliki semangat dan daya juang untuk melawan dan memberantas segala bentuk fanatisme kedaerahan dan kesukuan yang sempit yang biasa mencederai semangat kesatuan, persatuan dan ke-Bhineka Tunggal Ikaan bangsa. Seorang pemimpin disebut tidak chauvinis jika ia tidak mengutamakan, mengunggulkan, dan mengistimewakan kelompok, golongan, suku, ataupun rasnya, dan memandang rendah kelompok, golongan, suku, ataupun ras lainnya.

5. Elektabilitas Menjelang pemilu biasanya lembaga-lembaga survey mulai menampakkan aktifitasnya. mereka melakukan berbagai survey untuk menjajaki elektabilitas para calon pemimpin. Melalui survey dapat diketahui seberapa besar persentase eletabilitas atau keterpilihan calon pemimpin jika dibandingkan dengan calon-calon pemimpin lainnnya. Dari hasil survey sekaligus bisa diketahui seberapa besar persentase akseptabilitas atau keberterimaan calon pemimpin. Memang hasil survey belumsepenuhnya dapat dijadikan barometer yang stabildan exact, tetapi hasil survey dapat dijadikan tolak ukur dan acuan dalam memilih seorang pemimpin.

6. Kapabilitas Banyaknya dukungan tidak dapat dijadikan indikator kapabilitas seorang pemimpin. Khususnya di negara-negara yang tergolong tingkat kemiskinannya tinggi dan kualitas SDM-nya rendah, banyaknya dukungan biasa diperoleh oleh elit pemimpin dengan menggunakan cara-cara illegal, seperti misalnya jual beli suara/ money politic. Sejalan dengan hal tersebut, kiranya masih actual untuk dikemukakan disini pendapat filsuf perang Cina kuno kenamaan, Tsun Tzu -kalau tidak salah- pernah mengingatkan bahwa kekuasaan tak jarang diraih dengan cara-cara membodohkan dan memiskinkan rakyat. Dengan kata lain, seorang pemimpin seperti itu justru memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan rakyatnya untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan/ kepemimpinannya. Berdasarkan jalan pemikiran tersebut, bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang dapat dikategorikan memiliki kapabilitas itu? Sosok seorang pemimpin dapat dikategorikan memiliki kapabilitas jika ia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, serta memiliki kecakapan, keterampilan, dan kecerdasan. Luasnya pengetahuan dan pengalaman serta kepemilikan kecakapan dan keterampilan kiranya tidak perlu dijelaskan disini yang perlu mendapatkan penjelasan adalah jenis-jenis kecerdasan yang seyogyanya dimiliki oleh seorang pemimpin yang ideal. Ada tujuh jenis kecerdasan yang seyoyanya dimiliki oleh seorang pemimpin yang ideal, yaitu: Kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual (SPQ), kecerdasan vokasional (VQ), kecerdasan kreatif (CQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan social (SQ), dan kecerdasan managerial (MG). Kecerdasan intelektual menyangkut kemampuan bernalar dan pemecahan masalah. Kecerdasan emosional menyangkut kemampuan menahan dan mengendalikan hawa nafsu serta kemampuan mengendalikan diri. Kecerdasan spiritual berkaitan dengan seberapa kuat fenomena religiusitas atau fenomena kehidupan keberagaman seseorang. Kecerdasan vokasional menyangkut kompetensi dan profesionalitas seseorang dalam melakukan tugas sesuai dengan bidang tugas, pekerjaan, dan jabatan yang ia emban. Kecerdasan kreatif menyangkut kemampuan daya cipta. Sedang Kecerdasan social menyangkut kemampuan bergaul dan bermasyarakat, dan kecerdasan manajerial menyangkut kemampuan memimpin. Ketujuh jenis kecerdasan itu tidak harus semua menonjol dimiliki seorang pemimpin, tetapi paling tidak harus ada satu kecerdasan yang paling menonjol/ lebih di antara kecerdasan lainnya yang harus dimiliki oleh seseorang pemimpin, yaitu kecerdasan manajerial. Dengan kata lain, kecerdasan manajerial merupakan kecerdasan conditio sine quanon bagi seorang pemimpin.

*Penulis adalah dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unib, pengamat pendidikan, sosial, dan budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: