Jaksa “Lirik” Mesin Tetas

Jaksa “Lirik”  Mesin Tetas

TUBEI,BE - Dugaan adanya permasalahan dalam proyek pengadaan mesin tetas di lingkungan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Lebong tahun 2013 lalu telah diketahui oleh pihak Kejaksaan Negeri Tubei. Kejari pun \'\'melirik\'\' pengadaan mesin tetas ini untuk diusut.  Pasalnya, dalam kegiatan pengadaan tersebut diduga terjadi kemahalan harga hingga menimbulkan kerugian daearah. Kepala Kejari Tubei R Dodi Budi Kelana SH MH melalui Kasi Pidsus Rizal Edison SH yang ditanya mengenai hal tersebut masih belum mau berkomentar lebih banyak. Namun, diakuinya pengadaan mesin tetas dengan total anggaran Rp 149.000.00 saat ini masih dalam penelitian dan pengumpulan data. \"Saya belum bisa berkomentar banyak soal hal tersebut. Yang jelas memang saat ini kita masih melakukan penelitian dan pengumpulan data-data terkait pengadaan mesin tetas yang menimbulkan kerugian negara tersebut,\" kata Rizal. Diungkapkan Rizal, berdasarkan pasal 4 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3. \"Nah dari situkan sudah jelas jika meski sudah mengembalikan kerugian itu tidak menghapuskan tindak pidana. Tidak menutup kemungkinan ditemukan adanya unsur tindak pidana korupsi, maka selanjutnya nanti akan kita tingkatkan menjadi penyelidikan,\" ungkap Rizal. Sebelumnya dari informasi dilapangan pengadaan mesin tetas dengan dana sebesar Rp 149 juta yang dikerjakan oleh CV argo tani  diketahui dari perbandingan kemahalan harga mesin tetas. Diantaranya mesin tetas kapasitas 500 harga dasarnya Rp 7,3 juta, mesin tetas kapasitas 164-200 Rp 3,2 juta dan teropong telur Rp 100 ribu. Disinyalir harga dasar ini lebih mahal dari harga distributor yakni harga mesin tetas kapasitas 500 Rp 5,3 juta, mesin tetas kapasitas 164-200 Rp 1, 950 juta dan teropong telur sebesar Rp 50 ribu. Dari perhitungan kemahalan harga pengadaan mesin tetas ini diketahui bahwa mesin tetas kapasitas 164-200 butir sebanyak 25 unit dari Harga Perkirasaan Sendiri (HPS) Diskanak adalah Rp 122, 5 juta, sedangkan dari Surat Perintah Kerja (SPK) adalah Rp 122 juta, sementara harga wajar dari 25 unit mesin tetas ini hanya sebesar Rp 92,57 juta. Artinya terdapat selisih SPK dan harga wajar sebesar Rp 29,425 juta. Selanjutnya pada mesin tetas kapasitas 500 butir sebanyak 1 unit HPS nya adalah Rp 10,29 juta. Kemudian SPK sebesar Rp 10,270 juta. Sementara harga wajar adalah Rp 8,602 juta, diduga telah terjadi selisih antara SPK dan harga wajar sebesar Rp 1,66 juta. Untuk pengadaan teropong telur sebanyak 26 unit HPS nya adalah 3,25 juta, SPK sebesar Rp 3,185 juta, sedangkan harga wajar adalah Rp 1,928 juta. Pada item ini juga disinyalir terjadi selisih antara SPK dan harga wajar sebesar Rp 1,25 juta. Dari tiga item proyek tersebut setelah dipotong PPN 10 %, daerah disinyalir mengalami kerugian yang mencapai Rp 32 juta lebih. Terpisah, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Lebong Sumiati SP saat ditemui wartawan kemarin terkait persoalan pengadaan mesin tetas tersebut menjelaskan jika memang dalam hal tersebut terjadi kelalaian hingga terjadinya kemahalan harga dalam pengadaan mesin tetas tersebut. Bahkan dikatakannya, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pengadaan mesin tetas tersebut ada terjadi kemahalan harga yang mencapai Rp 32 juta lebih. Hal tersebut dijelaskan Sumiati, dikarenakan adanya selisih harga saat dilakukan pengecekan harga ke Pabrik atau distributornya, karena pengadaan ini dilakuknoleh pihak rekanan maka tentunya ada keuntungan yang diambil. \"Iya, memang berdasarkan hasil pemeriksaan BPK ada selisih harga dalam pengadaan mesin tetas tersebut. Tapi itu sudah kita selesaikan dan kelebihan harga tersebut sudah kita kembalikan ke KAS Daerah pada tanggal 24 Desember 2013 lalu. Maslahnya itu seperti ini, jadi memang ada selisih harga antara membeli mesin ke distributor dengan agennya. Seperti contoh kita membeli pupuk di pabrik dengan pengecer tentunya beda, nah hal ini yang terjadi dalam pengadaan barang tersebut, cuma memang pada saat BPK melakukan pengecekan harga barang tersebut, pihak rekanan tidak bisa menunjukan cap resmi dari pihak distributor sehingga timbullah kelebihan pembayaran. Tapi sekarang itu sudah selesai kok,\" ungkap Sumiati yang juga sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan alat tetas tersebut.(777)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: