Dari Misi Sederhana Berakhir Kaya Raya
Sukses Duo Pendiri WhatsApp Tak ada yang menyangka WhatsApp bakal menjadi buah bibir dunia ketika dibeli Facebook dengan nilai Rp 282 triliun. Pasalnya, WhatsApp pernah dipandang sebelah mata ketika kali pertama diluncurkan pada 2009 silam. Adalah Brian Acton dan Jan Koum yang menjadi otak di balik lahirnya WhatsApp. Sebelum membangun WhatsApp, keduanya adalah karyawan di Yahoo. Koum dan Acton bahkan sudah bekerja di Yahoo selama 20 tahun. Awalnya, sebagaimana dilansir laman The Week, Koum hanya ingin menciptakan aplikasi untuk mem-broadcast status ketika seseorang sedang tak ingin dihubungi oleh siapapun. Koum lalu mengajak Acton untuk mendirikan WhatsApp Inc. Misi dijalankan. Sayangnya, keinginan keduanya jauh panggang dari api. Aplikasi itu tak mendapatkan sambutan hangat dari publik. Tak mau putus asa, keduanya lantas melakukan inovasi. Salah satunya ialah dengan memasukkan fungsi pesan. Tak dinyana, inovasi itu ternyata mampu membuat WhatsApp meledak. Pada tahun pertama, WhatsApp tak memungut biaya untuk penggunanya. Namun, setelah itu, para pengguna harus membayar dengan nominal yang sangat murah. WhatsApp semakin mendapat tempat di hati para penggunanya karena dianggap sangat sederhana. Aplikasi itu tak memerlukan e-mail ataupun PIN seperti Blackberry Massenger. Sebagai ganti PIN, WhatsApp hanya menggunakan nomor telepon para pemakainya. Dengan inovasi itu, WhatsApp semakin dicintai. Pasalnya, aplikasi itu dianggap sudah bisa memenuhi semua keinginan para pemaikainya. Selain pesan teks, WhatsApp juga bisa untuk mengirimkan foto dan video. Tak pelak, WhatsApp mulai menggeser peran SMS. \"Lima tahun silam, kami memulai membangun WhatsApp dengan misi yang sangat sederhana: membangun produk bagus yang digunakan secara global oleh semua orang. Tidak ada yang lain,\" terang Koum di laman NDTV, Kamis (20/2). WhatsApp pun melesat menjadi aplikasi yang dengan pengguna sangat banyak. Koum dan Acton bahkan berani mengklaim WhatsApp digunakan oleh 450 juta pengguna. Dari jumlah itu, terdapat 18 miliar pesan masuk dan 36 miliar pesan keluar setiap hari. Kinerja hebat WhatsApp membuat CEO Facebook, Mark Zuckerberg kepincut. Zuckerberg pun mulai mencari cara untuk merayu Koum dan Acton agar mau menjual WhatsApp. Rayuan mulai dilakukan pada 2012 silam. Saat itu, Zuckerberg ngopi bareng Koum di kawasan Los Altos, California. Sayangnya, usaha Zuckerberg mentah. Koum masih menyayangi \"bayinya\" itu. Tapi, Zuckerberg tak menyerah. Dia terus mengajak Koum bertemu secara intensif. Dua tahun gagal ternyata tak membuat ambisi Zuckerberg mencaplok WhatsApp surut. Zuckerberg makin kepiincut karena WhatsApp memiliki 450 juta pengguna. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding pengguna Twitter yang \"hanya\" 200 juta. Nah, usaha tak kenal menyerah Zuckerberg akhirnya berbuah manis. Pada 11 Februari 2014, Zuckerberg mengundang Koum untuk datang ke rumahnya. Sembari makan malam, Zuckerberg kembali mengutarakan niatnya membeli WhatsApp. Tiga hari berselang atau pada Valentine Day, Koum dikabarkan kembali mendatangi rumah Zuckerberg. Namun, kedatangan Koum bukan untuk merayakan hari kasih sayang. Koum ternyata menyetujui untuk melepas WhatsApp. Zuckerberg pun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Keduanya sepakat dengan harga Rp 228 triliun. \"Misi kami adalah membuat dunia menjadi lebih terbuka dan saling terkoneksi. WhatsApp sangat sederhana namun memiliki kecepatan dan layanan pesan yang hebat. WhatsApp juga sudah digunakan 450 juta pengguna,\" terang Zuckerberg di laman Telegraph, Kamis (20/2). Koum juga tak kalah gembira. Pasalnya, kerjasama itu dianggap bakal membuat WhatsApp semakin meledak. \"Kami sangat senang dan merasa terhormat bisa bekerja sama dengan Facebook. Ini membuat kami bisa membawa WhatsApp semakin menjangkau seluruh dunia,\" ujar Koum.
Pernah Ditolak Namun, jangan dilihat kesuksesan Acton \"memaksa\" Facebook membeli WhatsApp. Pasalnya, Acton pernah menyimpan sakit hati setelah ditolak untuk bekerja di perusahaan milik Mark Zuckerberg itu. Laman NDTV, menulis, Acton gagal total ketika ingin bekerja di Facebook. Sayangnya, tak disebutkan alasan penolakan Facebook terhadap Acton. Setelah itu, Acton mulai membangun WhatsApp bersama Jan Koum. \"Facebook menolak saya. Ini adalah peluang yang bagus untuk berhubungan dengan orang-orang yang fantastis. Saya ingin menatap tantangan di masa depan,\" terang Acton. Calo Keciprat Rp 540 M Proses pembelian WhatsApp oleh Facebook tak lepas dari jasa para penasehat keuangan kedua perusahaan itu. Mereka ialah Morgan Stanley yang merupakan penasehat WhatsApp dan Allen & Co di kubu Facebook. Nah, layaknya proses jual beli, kedua \"calo\" itu juga kecipratan komisi dengan nominal selangit. Laman New York Times, Kamis (20/2) menulis, Morgan Stanley mendapatkan komisi sebesar USD 45 juta atau sekitar Rp 540 miliar (USD = Rp 12.000). Nominal itu diungkapkan lembaga Freeman & Co yang memang kerap menjadi proses merger atau akuisisi perusahaan. Kalaupun tidak mencapai Rp 540 miliar, Morgan Stanley diyakini mendapatkan komisi tak kurang sebesar Rp 420 miliar. Selama ini, Morgan Stanley memang dikenal sebagai jago negosiasi. Keberhasilan itu membuat Morgan Stanley menduduki posisi puncak Thomson Reuters dalam daftar pembuat kesepakatan terbesar. Proses pembelian WhatsApp oleh Facebook memang menjadi transaksi terbesar sepanjang 2014. Namun, akuisisi itu merupakan yang terbesar ketiga sejak krisis moneter silam. Nah, selain Morgan Stanley, Allen & Co juga kecipratan bonus yang tak sedikit. Facebook selaku penggunan Allen & Co dikabarkan mesti menggelontorkan dana sebesar Rp 492 miliar. Itu merupakan kisaran tertinggi komisi yang diterima Allen & Co. Kalaupun tak mendapatkan nominal tertinggi, Allen & Co diyakini mendapatkan upah di kisaranĀ Rp 372 miliar.(jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: