Bung Karno Tokoh Pembaru Islam
Bengkulu Doeloe dan Bengkulu Kini (3) Oleh H kaharuddin Thahrir, BSW (Pengamat Sosial Politik dan Agama) SEPERTI disinggung dibagian terdahulu bahwa Bung Karno dalam pembuangannya (Internir) di Bengkulu di bawah pengawasan Bapak Mohamad Husni Thamrin. Rupanya kehadiran dan aktifitas Bung Karno ini seperti patuah orang tua-tua Bengkulu “Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau, sekali membuka pundi dua tiga hutang terbayar”. Rupanya kata kias itu benar-benar terwujud dalam kenyataan yang sebenarnya di Bengkulu. Karya sosial politik kemasyarakatan yang bernilai tinggi atau impact berpengaruh dan tindak lanjutnya sangat besar pengaruhnya yaitu dengan keberhasilan Bung Karno di paruh kedua dari pengasingannya banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dari luar Bengkulu. Bung Karno membuktikan kepemimpinannya beliau berhasil mendorong Konsulat Muhammadiyah untuk mengadakan “Konferensi Daerahtul Kubrah” (Konferensi Daerah Besar). Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil Muhammadiyah Keresidenan se-Sumatera ditambah dengan wakil-wakil Hoofdebestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah Yogyakarta. Meskipun resminya acara konferensi tersebut terpusat pada pendidikan, tema soal “Pembaharuan Islam” merupakan tema pembicaraan terpenting walaupun dalam bentuk yang tidak formal. Bung Karno merasa puas dapat mendiskusikan gagasan-gagasannya dengan pemuka-pemuka Muhammadiyah seperti Hamka dari Medan, Sultan Mansyur dari Sumatera Barat, Fanani dari Palembang dan tentu dengan Kiyai Mas Mansyur dari Hoofdebestuur Yogyakarta (buku Bung Karno hal. 58, M. Ali Chanafiah). Penjelasan di atas membuktikan kebenaran pernyataan Kiyai H. Siradjuddin Abbas dalam buku beliau berjudul “40 Masalah Agama Jilid II masalah ke-10”, seperti di bagian dahulu naskah ini. Artinya Bung Karno adalah termasuk salah seorang pembaharu Islam (Islam Modernis). Dengan catatan ubudiyah di Masjid Istiqlal dan Masjid Baiturrahman di lingkungan Istana Negara/ Merdeka tetap dipertahankan seperti paham umat Islam terbesar di Indonesia yaitu Islam Sunni atau Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Madzhab Syafi’i Rhl. Berbarengan dengan aktifitas ke Muhammadiyaan di daerah eks-Keresidenan ketika Bengkulu berada di bawah Pemerintahan Residen Westenenk (1915 – 1919). Serikat Islam muncul di daerah ini untuk melawan sekregasi politik dan sosial yang berkembang di daerah Lais, Rejang Lebong, Seluma, Manna, Kaur dan Krui praktis seluruh daerah Keresidenan jumlah anggotanya mencapai 30.000 (tiga puluh ribu) orang. Serikat Islam Bengkulu ini dipimpin oleh H. Muhammad seorang saudagar hasil bumi dan beliau adalah datuk (kakek) tokoh pejuang sentral angkatan 45 Mayor Nawawi Manaf mantan Kepala Staf TT II Sriwijaya. Sedangkan H. Muhammad dilantik sebagai Presiden Serikat Islam Bengkulu langsung oleh H. Cokroaminoto pada tahun 1914 dan wafat bulan Januari 1941, makamnya di Kampung Kelawi yang biasa disebut oleh penduduk asli “Bukit” Pasar Bengkulu. H. Muhammad adalah dua saudara dengan H. Azeharie orang tua dari mantan Duta Besar H. Muhammad Amin Azeharie, S.H., Drs. H. Moehtar Azeharie mantan Gubernur Muda Bank Indonesia era mantan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam. H. Muhammad Amin Azeharie, S.H. adalah saudara sepupu H. Syarif Syafri dan sepupu ibunda Ir. Mahyudin Jamaluddin yang notabene saudara kandung ibu Mayor Nawawi Manaf (Naemah) serta ibunda Drs. H. Syafruddin Salim alias Udjang (Amnah). Inilah keluarga besar yang pada umumnya berdomisili di Pasar Malabero Kota Bengkulu. Keluarga ini bertetangga dengan keluarga besar Prof. Dr. Hazairin, SH yang istrinya Aminah binti Abdul Gafur. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: