Anggap Normal, Berbicara Tetap dengan Verbal

Anggap Normal, Berbicara Tetap dengan Verbal

Perjuangan Masniari Siregar Mengentas Empat Anak Tunarungu \"092637_855791_foto_boks_Masniari_Siregar_2_dod\"Masniari Siregar termasuk ibu yang tegar dan inspiratif. Betapa tidak, puluhan tahun perempuan 68 tahun itu harus berjuang mengentas enam anaknya yang empat di antaranya tunarungu.   DODY BAYU PRASETYO, Jakarta   Dari pernikahannya dengan Ali Panangaran Harahap, pensiunan pegawai Departemen Keuangan (kini Kementerian Keuangan), Masniari Siregar dianugerahi enam anak. Keenamnya kini sudah mentas, meski empat di antaranya punya cacat fisik permanen sebagai penderita tunarungu. Mereka adalah Barli Hakim Harahap, 48; Rajamuddin Harahap, 47; Erwin Syafruddin Harahap, 45; Rachmita Maun Harahap, 44; Linda Noura Harahap, 42; dan Ade Nurima Harahap, 40. Yang menarik, mereka lahir dalam rentang waktu yang amat pendek: delapan tahun. Hampir setiap tahun Masniari hamil, lalu melahirkan. Tak berselang lama hamil lagi. Karena itu, selisih usia enam anak ibu berjilbab tersebut tidak berbeda jauh. Hanya satu dua tahun. Di antara enam anak Masniari, yang tunarungu adalah Barli, Erwin, Rachmita, dan Ade. Rajamuddin dan Linda lahir normal tak kurang suatu apa pun. Itulah kenyataan hidup yang harus dilakoni Masniari bersama suami. Mereka harus menangani anak-anak yang sejak lahir tidak bisa mendengar (tunarungu). Meski begitu, Masniari tidak berkecil hati. Dia bersama suami menyatakan tidak pernah menyesal apalagi malu dengan kondisi anak-anaknya yang cacat itu. Buktinya, dia tetap merawat empat anaknya yang tunarungu tidak berbeda dengan dua anaknya yang normal. Dia tidak membeda-bedakannya. Hanya model komunikasinya yang berbeda. \"Rasanya tidak ada yang berbeda di antara mereka,\" kata Masniari ketika ditemui di rumahnya, kawasan Jalan Ciremai II, Perumahan Depkeu, Karangtengah, Ciledug, Banten, Senin (16/12). Dia mengisahkan, kondisi empat anaknya tersebut baru diketahui ketika mereka berusia 4\"6 tahun. Setiap kali dipanggil, mereka tidak langsung merespons. Dari situlah Masniari dan Ali menyadari bahwa empat anaknya menderita tunarungu. \"Awalnya sih kaget dan shock mengetahui anak-anak kami tidak bisa mendengar. Tapi, akhirnya kami bisa menerima anugerah dari Allah itu. Kami pun bertekad membesarkan mereka hingga sukses,\" ujar Masniari yang didampingi Nabilla Putri Rasheedah, cucunya dari Rachmita, putri keempatnya yang kini menjadi dosen Universitas Mercu Buana, Jakarta, meski tunarungu. Yang jelas, begitu mengetahui anak-anaknya bermasalah dengan pendengarannya, Masniari langsung memeriksakan mereka ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Rasidin, Padang. Saat itu keluarga Masniari masih tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat. \"Saya bawa mereka ke RSUD setiap minggu untuk dites pendengarannya. Hasilnya, anak-anak kami memang tunarungu,\" ucap perempuan yang sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar motivasi, khususnya terkait cara menangani anggota keluarga yang cacat, tersebut. Sejak itu, Masniari menyesuaikan diri dengan kondisi empat anaknya yang tunarungu. \"Kalau kita sudah tahu mereka tidak bisa mendengar, kenapa terus dipanggil-panggil\" Percuma. Jadi, saya yang harus mendatangi mereka atau minta ke saudaranya yang lain untuk memanggilkan,\" tuturnya. Dalam berkomunikasi dengan empat buah hatinya itu, Masniari enggan menggunakan bahasa isyarat seperti halnya orang lain yang memiliki anggota keluarga yang senasib. Dia tetap menggunakan metode komunikasi verbal seperti berbicara dengan normal. Karena itu, setiap berbicara, dia selalu berusaha berhadap-hadapan langsung dengan anaknya yang tunarungu. Dengan demikian, si anak bisa melihat bentuk mulut ibunya serta ekspresi yang menyertainya. \"Saya tetap berbicara verbal agar mereka juga belajar ngomong. Alhamdulillah, lama-lama mereka bisa mengerti setiap kata yang saya ucapkan. Bukan dengan isyarat tangan,\" ucapnya. \"Saya bilang, ayo lihat wajah dan bibir mama, sayang. Mereka akhirnya paham dengan kata-kata yang saya katakan,\" tambah dia. Ketegaran Masniari bersama suami dalam mendidik anak-anaknya yang tunarungu menggugah simpati atasan Ali di Depkeu. Berkat simpati Dirjen Anggaran Depkeu yang kala itu dijabat Benyamin Parwoto, Ali bisa membawa anak-anaknya ke kota besar yang memiliki fasilitas pendidikan yang memadai untuk orang-orang tunarungu. Ali pun pernah dipindahtugaskan ke Surabaya, Serang, lalu Jakarta agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik. \"Pemindahan tugas itu selalu terkait dengan masa depan pendidikan anak-anak saya yang tunarungu tersebut. Kami hanya bisa berterima kasih atas kebaikan Pak Parwoto kala itu,\" paparnya. Saat Ali pindah dinas di Jakarta pada 1989, Parwoto juga memfasilitasi keluarga Masniari dengan sebuah rumah dinas yang cukup luas. \"Rumah inilah yang dulu rumah dinas bapak,\" ujar Masniari. Kendati begitu, tidak berarti Masniari tidak pernah mendapat cemoohan atas kondisi empat anaknya yang cacat tersebut. Suatu hari dia menerima perkataan yang kurang menyenangkan dari seorang wali murid di sekolah anaknya. \"Saya tidak pernah malu sedikit pun memiliki anak tunarungu. Tapi, yang namanya perasaan, sakit hati juga mendengar cemoohan orang kala itu,\" ungkapnya mengingat masa itu. Namun, Masniari tetap sabar menghadapi situasi semacam itu. Bahkan, dia selalu memotivasi seluruh anaknya agar tetap memiliki cita-cita yang tinggi meski memiliki kekurangan. Selain itu, Masniari tidak henti-henti berpesan kepada mereka untuk selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan kepada mereka. \"Saya bilang, kamu harus selalu bersyukur. Kalau tidak, Allah akan marah. Kamu bisa sukses seperti sekarang karena Allah,\" tegasnya. Masniari menyayangkan bila ada orang tua yang merasa malu memiliki anak yang tunarungu atau cacat tubuh lainnya. Karena itu, dia tidak segan-segan akan mengingatkan agar orang tua tersebut bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan berupa anak, meski terlahir tidak normal. \"Anak-anak itu kan titipan Allah. Jadi, kita harus menjaga dan merawatnya,\" ujarnya. Kesabaran Masniari dalam merawat dan mendidik anak-anaknya kini berbuah manis. Seluruh anak Masniari sekarang telah mentas dan hidup mandiri, tak terkecuali empat anaknya yang tunarungu. Bahkan, salah seorang putrinya, Rachmitha, sukses menempuh pendidikan hingga S-2 di Institut Teknologi Bandung (ITB). \"Alhamdulillah, meski tunarungu, Mitha (Rachmitha) sekarang dipercaya menjadi dosen di kampus ternama di Jakarta,\" ungkap Masniari. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: