Memaknai Lailatul Qadar dalam Konteks Kekinian
Oleh: Prof Dr Thohir Luth*
MEMBICARAKAN malam Lailatul Qadar pada dasarnya tidak bisa lepas dari malam Nuzulul Quran. Malam turunnya Alquran, bagi masyarakat Indonesia, yang biasa diperingati pada malam ke-17 Ramadan itu dilatarbelakangi peristiwa diturunkannya Alquran pada 17 Ramadan 2 Hijriah atau 10 Agustus 610 Masehi.
Alquran diturunkan Allah sebagai petunjuk. Isinya berupa perintah dan larangan. Pesan melalui turunnya Alquran adalah bahwa Allah mempersenjatai umat agar hidup lebih bernilai. Baik itu secara ritual, material, maupun spiritual.
Allah SWT dalam Surat Al Qadr ayat 1 berfirman yang artinya, \"Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada malam Qadar (Lailatul Qadar)\".
Kemudian, dalam Surat Al Baqarah ayat 185 Allah berfirman yang artinya, \'\'Bulan Ramadan adalah bulan di mana di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan batil\'\'.
Selain dua ayat di atas, dalam Surat Ad Dukhan ayat 3 disebutkan pula yang artinya, \"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi\".
Di sisi lain, malam Lailatul Qadar yang juga diartikan Malam Seribu Bulan atau setara 83 tahun menjadi cermin, apa amal yang sudah diperbuat manusia selama diberi hidup selama ini?
Dengan ganjaran seribu bulan atau 83 tahun itu sebenarnya manusia diberi kesempatan lebih panjang untuk berbuat lebih baik. Bandingkan dengan usia Nabi Muhammad SAW ketika meninggal berumur 63 tahun.
Peristiwa turunnya Alquran sebagaimana yang biasa diperingati umat Islam Indonesia pada dasarnya juga dicontohkan Rasulullah SAW. Jika pun peristiwa itu diperingati dengan niat dan alasan yang baik, hendaknya tidak sekadar seremonial.
Melalui peringatan itu, esensi Alquran sebagai peringatan bagi umat manusia bisa membawa bekas dalam diri umat. Masyarakat juga harus merasakan kehadiran Alquran tidak sebatas bacaan personal. Namun, berupa amalan yang bermanfaat dalam kehidupan bersosial hingga kehidupan bernegara.
Harus diakui bahwa kondisi masyarakat pada zaman Rasul menerima perintah sebagaimana dalam Alquran dengan situasi masyarakat sekarang tentu berbeda. Keadaan itu menjadi tantangan untuk berbuat yang lebih baik. Terutama memperbanyak gerakan sosial untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.
Selama ini, masyarakat masih membiasakan diri membaca Alquran hanya untuk mendapat pahala secara personal. Seharusnya, isi Alquran itu diamalkan untuk kepentingan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Jika dibandingkan dengan amalan umat Islam saat ini, kondisinya jauh sekali. Keseriusan memanfaatkan sepuluh hari terakhir pada Ramadan lebih berkualitas pada zaman sahabat.
Saya melihat aplikasi memaknai datangnya Lailatul Qadar masih bersifat perseorangan. Belum tecermin nilai-nilai masyarakat yang lebih beradab. Belum mencapai citra negara yang religius. Meski begitu, umat Islam tidak boleh putus asa. Peningkatan ibadah tetap wajib dilakukan. Persoalan derajat pahala, Allah Maha Tahu segalanya.
Sesungguhnya, momen Lailatul Qadar itu oleh Allah diturunkan setiap tahun. Memanfaatkan momen datangnya malam Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir Ramadan, khususnya setiap malam ganjil, hendaknya lebih dihidupkan. Khususnya di masjid-masjid dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada umat yang hendak beriktikaf.
Adapun tanda-tanda turunnya Lailatul Qadar yang diwujudkan dalam bentuk indahnya fenomena alam sebagaimana disebutkan sebagian ulama tampaknya tidak cukup menjadi pegangan.
Lailatul Qadar merupakan anugerah Allah kepada umat Muhammad yang tidak diberikan kepada umat terdahulu. Hanya, untuk mendapatkannya, umat Muhammad harus sungguh-sungguh dalam mencarinya. Kadar keberkahan dan kadar kemuliaan di malam Qadar itu tetap abadi dalam kerahasiaan. (sep/c6/ib)
*Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: