Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia

Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia

Dari Semangat “Binatang Jalang” ke Padang Kota Kata

Jam nol-nol. Ketika keranda kutarik bumi tak melirik. Seperti merapat memeluk erat. Dingin mendegapkan langkahku, yang bersiul menuju kuburan zaman...

Ganda Cipta, Padang

Seiring dengan dilagukannya puisi “Keranda” karya Gus Tf Sakai tersebut, suara riuh rendah tetamu di Ladang Tari Nan Jombang di Rimbotarok, Kelurahan Gunungsarik, Kecamatan Kuranji, Padang, beringsut hilang. Perhatian mereka dicuri Teater Langit yang nyaris menyanyikan lagi tersebut dengan sempurna. Ketika itu tepat pukul 00.00 WIB, Jumat (26/7). Sebuah perayaan pun dimulai. Perayaan Hari Puisi Indonesia. Ini untuk pertama kalinya dirayakan setelah tahun lalu, tepatnya 22 November di Pekanbaru, penyair-penyair Indonesia yang dimotori Rida K Liamsi, bersepakat, hari lahir pujangga besar Indonesia, Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia.

Sebenarnya, Hari Puisi Indonesia tidak saja dirayakan di Padang. Sejumlah kota lainnya di Indonesia juga ikut merayakannya. Bahkan di Jakarta, Hari Puisi Indonesia dirayakan sejak 25 hingga 30 Juli ini. Ada berbagai agenda, semisal lomba baca puisi se-Indonesia, sayembara buku kumpulan puisi, dan tadarus puisi.

Tapi di Padang, meski sederhana, perayaan Hari Puisi Indonesia tergolong unik. Diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Ranah, Komunitas Padang Membaca, Nan Jombang Dance Company, serta disponsori Harian Padang Ekspres, perayaan Hari Puisi Indonesia digelar tepat pada detik pertukaran hari, saat memasuki tanggal 26 Juli. Karena bertepatan pula dengan bulan Ramadhan, acara itu pun diberi nama Sahur Puisi

Nah, setelah penampilan Teater Langit sebagai tanda perayaan Hari Puisi Indonesia dimulai di Padang, koordinator acara S Metron Masdison pun memberi panggung kepada salah seorang penyair kuat Sumbar saat ini, Esha Tegar Putra. Tak berapa lama, bergantian pula para penyair Sumbar dan kelompok seni lainnya untuk membaca puisi dan menyanyikan puisi. Ada “papanya” para penyair Sumbar Rusli Marzuki Saria, cerpenis Yetti A.KA, Alizar Tanjung, Arif Rizki, Teater Ranah, Rumah Teduh, dan Nan Tumpah.

Tak sekadar membaca dan menyanyikan puisi-puisi yang pernah tercipta di Indonesia bahkan dunia, perayaan Hari Puisi Indonesia di Ladang Tari Nan Jombang juga diisi orasi. Orasi pertama disampaikan penyair Sondri BS, kemudian akademisi sastra dari Universitas Andalas Sudarmoko, dan penyair Romi Zarman.

Sekaitan dengan Hari Puisi Indonesia yang berdasarkan pada hari kelahiran Chairil Anwar, dalam orasinya, Romi Zarman menyampaikan, banyak hal yang masih belum tergali dari kekuatan-kuatan puisi-puisi Chairil. Khususnya yang berhubungnya dengan sebagian besar karyanya yang dominan lahir pada zaman penjajahan Jepang.

Romi melihat, puisi-puisi dari penyair yang dijuluki “Binatang Jalang” ini, yang lahir pada zaman Jepang memiliki semangat revolusi yang besar. Yang tak takut menentang kekuasaan para penjajah. Puisi-puisi Chairil itu, diduganya lahir dari semangat propaganda Jepang terhadap daerah jajahannya. Semangat propaganda itu, berkemungkinan muncul dari propaganda Jepang di media-media massa yang diterbitkan Jepang. Di contohkannya, seperti puisi “Aku” dan “Di Ponegoro”. “Jadi, masih banyak ruang untuk mengkaji Chairil,” ujarnynya.

Di sisi lain, Sondri menyebutkan, puisi telah lahir dari rasa nyeri akan dunia ini. Puisi-puisi akan terus lahir dan mengalir seperti perjuangan terhadap kemanusian yang tak bisa dihentikan. Puisi-puisi akan terus lahir walau setengah dunia ini rusak oleh tangan-tangan manusia.

Baginya, perayaan itu mengembalikan jiwa yang retak oleh berbagai peristiwa penuh tragedi dan kepalsuan. Orang-orang yang hadir dalam perayaan ini sedang mencoba untuk mengingat seorang besar yang telah mencatat sejarah, memancangkan satu tonggak bagi bangunan perpuisian di negeri ini. Seorang “binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang”. Yang mengajarkan pemberontakan terhadap zaman yang sudah kehilangan ruhnya.

“Kita sedang menunggu Chairl-Chairil baru yang mampu melampaui apa yang dimiliki zamannya. Yang tidak hanya sebagai pengekor dan bagian dari kecenderungan massa. Kita membutuhkan beratus bahkan beribu Chairil agar kita bisa menembus kebuntuan wacana dan keadaan ini,” ujarnya.

Makna dari sebuah peringatan, sambung suami dari cerpenis Yetti A.KA, adalah bagaimana bisa mengambil pelajaran di`balik apa yang peringati tersebut. “Kita peringati hari lahirnya Chairil, untuk bisa kita lahirkan penyair-penyair muda yang akan mengukir lembaran hari depan untuk jadi momentum baru dalam perjalan waktu berikutnya,” ucapnya.

Di masa ini, bisa membaca puisi-puisi Chairil bisa sambil merenung dan meresapi maknannya. Ia telah berlalu berpuluh tahun. Semangat zamannya jelas terbanyang dalam karya-karya Sang Maestro. Di saat itu bangsa Indonesia sedang mempertaruhkan segenap jiwa raga untuk sesuatu yang hakiki yang bernama kemerdekaan.

“Jika masa itu adalah masa revolusi fisik, kini masa perjuangan lain sedang menanti. Kita masih berada di bawah bayang-bayang yang menindas,” kata Sondri BS.

Puisi untuk Kita dan Kota

Ya, masa perjuangan lain sedang menanti. Dan salah satu yang mungkin patut diperjuangkan adalah menjadikan Padang sebagai Kota Kata, sebagaimana yang disampaikan Sudarmoko. Persoalan ini perlu dimunculkan, terutama oleh karena sekarang ada usaha untuk mendefenisikan diri sendiri, mengenali potensi dan peluang, untuk membangun masa depan.

Padang perlu memikirkan diri sedeni mungkin untuk mengambil frase itu, frase Kota Kata. Mengingat, apa yang ada di dalamnya memenuhi kadar untuk penyebutannya. Ada sejumlah nama, karya, pengarang, media, penerbit, lembaga dan komunitas, yang bergerak di bidang ini. “Sejarah pun telah membuktikan perjalanan yang tiada henti, baik geliat di dalamnya maupun pengaruhnya dalam skala yang lebih luas,” tutur lulusan Leiden, Belanda itu.

Salah satu yang menonjol dari Padang adalah kata, sastra, bahasa, dialektika, intelektualitas, rasa estetika. Akan tetapi, sastra, dan juga puisi, dia kira perlu juga memasuki relung kota. Di mana nantinya akan ada penggalan puisi Yusrizal KW di sebuah kantor pemerintah. Ada frase “Beri aku Tambo, jangan sejarah” dari puisi papa Rusli termaktub di dinding Ladang Nan Jombang.

Dia juga berpikir, ada nuansa yang berbeda, jika sastra mampu dikenalkan lebih jauh. Emosi mungkin akan terkurangi, ketika tanpa sadar orang-orang membaca penggalan puisi di dinding gedung besar, ketimbang terpaksa membaca iklan atau baliho kampanye wali kota. Imajinasi akan lebih hidup, ketika dapat menikmati sebuah taman yang hijau dan rindang, ada sejumlah tulisan, karya sastra, perpustakaan kecil, dan panggung baca puisi.

Padang, sekian tahun kemudian, mungkin akan berbuah menjadi kota penuh kejutan estetika, jika hal ini dapat dilakukan. Bahasa dan laku masyarakat akan memiliki kekuatan. Tapi memang, sebut dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unand ini, karakter sebuah kota terbangun dalam waktu yang lama, yang mungkin melelahkan untuk merekayasa dan memengaruhinya.

“Kota Kata, tidak harus dilakukan oleh para penyair atau pengarang. Ia dapat dilakukan kita, pembaca dan penikmat sastra, pengusaha atau mahasiswa, penjaja atau pengemudi angkutan kota,” tukasnya.

Ya, Seperti yang telah dilakukan salah seorang mahasiwa Unand Heru Jhoni Putra, yang juga hadir dalam perayaan Hari Puisi Indonesia tersebut. Kepada para tetamu dia mengaku, di dinding kamarnya ada sepenggal larik puisi dari penyair Rusli Marzuki Saria.

“Beri aku tambo, jangan sejarah. Aku ingin tuak penuh ragi dan tidak bangkai-bangkai yang menyerah”. Begitulah penggalan puisi di dinding kamar mahasiswa itu. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: