Asep Sapa’at: Guru Belum Siap Terapkan Kurikulum 2013
Reporter:
Rajman Azhar|
Editor:
Rajman Azhar|
Jumat 31-05-2013,09:00 WIB
RAPAT Kerja Komisi X DPR bidang pendidikan menandai akhir dari penolakan penerapan kurikulum 2013, Senin (27/5). Dalam rapat yang dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh, mayoritas fraksi di DPR menyetujui kurikulum baru itu dilaksanakan tahun ini.
Meski ditolak banyak pihak, baik dari orang tua siswa, guru, praktisi pendidikan hingga para pakar, namun DPR menyepakati nomenklatur anggaran Kurikulum 2013 terbaru yang diajukan pemerintah senilai Rp 829 miliar. Kurikulum yang dianggap hanya sebatas kepentingan proyek ini akan diterapkan 15 Juli 2013 mendatang pada tahun ajaran baru 2013/2014.Tahap awal, kurikulum baru akan diterapkan di 6.400 sekolah atau 3 persen dari total sekolah yang ada di Indonesia. Namun, penerapan ini melenceng dari target semula yang mencapai 132.000 sekolah atau 30 persen.
Dari sisi penerapan kurikulum saja, Kemendikbud sudah dianggap tidak matang melakukan perencanaan. Belum lagi menyentuh pada subtansi materi model tematik integratif sebagai jawaban atas krisis akhlak dan karakter bangsa, termasuk kemampuan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum 2013.
Apa sebetulnya alasan dari penolakan kurikulum baru ini? Dan bagaimana Mendikbud Muhammad Nuh menyikapinya dengan bijak? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M Fathra Nazrul Islam dengan Asep Sapa’at, praktisi pendidikan yang juga Direktur Sekolah Guru Indonesia, Rabu (29/5).
Sudah baca dokumen kurikulum 2013?
Sudah
Penting tidak perubahan kurikulum dilakukan saat ini?
Kurikulum adalah salah satu elemen penentu kualitas pendidikan. Guru yang justru menjadi faktor penentu utama kualitas pendidikan, tak diperhatikan. Belum lagi bicara soal infrastruktur dan kebijakan yang terkesan belum mampu mencerdaskan anak bangsa.
Mendikbud M Nuh yakin, Kurikulum 2013 menjadi jawaban atas krisis akhlak dan karakter bangsa. Menurut Anda?
Kegagalan sistem pendidikan kita baru bicara soal teori, siswa baru tahu ilmu tentang karakter, tapi tak mampu praktikkan karakter. Siswa tak punya waktu untuk terbiasa berperilaku baik dan kehilangan figur yang layak diteladani. Simak kasus UN, banyak oknum pengawas-guru-pejabat membiarkan bahkan kondisikan siswa mencontek supaya bisa dikatakan kompeten.
Kata Mendikbud, kurikulum 2013 adalah cara supaya siswa bisa kompeten mengadapi persaingan global. Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 berbasis kompetensi. Betulkah siswa Indonesia kompeten?
Hafidh Abbas menulis \'Kecenderungan Berbahaya Pendidikan Nasional\'. Pertama, Gagal memberi hak paten di seluruh PT (Perguruan Tinggi). Sepanjang tahun 1985-2007, hanya 419 paten dari 4.000 PT di Indonesia.
Bandingkan dengan Singapura, 5 PTN dan beberapa swasta, melahirkan 10.000 paten. Kedua, Gagal melahirkan anak jujur dan akhlak baik, Indonesia negara paling korup. Ketiga, Gagal meningkatkan kualitas anak bangsa. Simak data UNDP. Keempat, Gagal berperan sebagai kohesi sosial, DPR kisruh, kampus kisruh, dan sebagainya.
Jadi, kurikulum tak terlalu penting diubah saat ini?
Pemerataan akses pendidikan, perbaikan sistem pembinaan guru, dan peningkatan kualitas pendidikan, hal utama yang mesti dibenahi.
Bagaimana Anda melihat perubahan kurikulum pendidikan secara substansi dari KTSP (Kurikulum tingkat satuan pendidikan) ke kurikulum 2013?
Yang berubah dari KTSP ke Kurikulum 2013 terletak pada 4 standar, (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar penilaian.
Standar kompetensi lulusan, adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills & hard skills yang meliputi kompetensi sikap, keterampilan, pengetahuan. Tak ada kebaruan secara substansi, hasil belajar itu memang untuk memberdayakan potensi pengetahuan, sikap, keterampilan secara komprehensif. Nyaris tak ada perubahan scara berarti (antara KTSP dengan kurikulum 2013).
Standar isi, jumlah mata pelajaran ada yang dikurangi dan diintegrasikan, tapi jumlah jam pelajaran bertambah. Terlalu banyak jumlah mata pelajaran jelas berbahaya. Einstein bilang, \'Mengajar anak hanya menghafal pelajaran, tak beda dengan melatih seekor anjing. Terlalu banyak menjejalkan mata pelajaran itu berbahaya. Anak jadi berpikir dangkal. Mereka tak akan jadi Independent Critical Thinker (New York Times, 5 Oktober 1952).
Standar proses, semula terfokus pada Eksplorasi-Elaborasi-Konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Belajar tak hanya di kelas, tapi di sekolah dan masyarakat. Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Sikap tak diajarkan secara verbal, tapi melalui contoh dan teladan. Ini baru sebatas teori, praktik kerja guru di lapangan tak pernah dievaluasi, sehingga guru merasa tak perlu bersungguh-sungguh bersikap kreatif dalam melakukan proses pembelajaran.
Kurikulum 2013 berbasis saintifik, model pembelajaran tematik integratif. Sejumlah praktisi bilang model ini bagus. Menurut Anda?
Tak ada satu pun model pembelajaran terbaik untuk guru-guru. Yang terbaik, yang tepat ditampilkan di tempat yang tepat dan situasi yang tepat. Tak ada satu pun strategi mengajar yang terbaik. Semua tergantung pada situasi dan waktu yang tepat untuk dipraktikkan guru. Sedahsyat apa pun kurikulum berbasis saintifik dengan model tematik integratif, jika tak dipahami dan tak bisa diterjemahkan guru dalam praktik pembelajaran, semua hanya isap jempol. Murid ling lung produknya, bukan murid kompeten, hehe (tertawa).
Konsekuensi kurikulum baru yang mendasar ada pada guru. Apa menurut Anda guru-guru siap mengubah cara mengajarnya?
Hasil survei salah satu media nasional, guru SD dan SMP belum memiliki pemahaman tentang kurikulum 2013. Kelompok guru senior, masa mengajar di atas 24 tahun, hanya 22 persen yang paham kurikulum 2013. Kelompok guru muda, masa mengajar di bawah 8 tahun, 41 persen paham kurikulum 2013. Semakin lama masa kerja guru, tingkat pengetahuan kurikulum semakin rendah. Jika pengetahuan tentang kurikulum rendah, maka guru yang bersangkutan akan bingung bagaimana menjabarkan kurikulum dalam praktik pembelajaran.
Pemerintah hanya menyiapkan waktu pelatihan 52 jam untuk guru dan 70 jam untuk Kepsek agar menguasai materi ajar sesuai kurikulum 2013. Apa itu cukup?
Sangat tidak cukup. Pelatihan hanya salah satu cara meningkatkan kualitas kompetensi guru. Yang paling krusial adalah proses coaching di saat guru praktik mengajar. Kelemahan guru bisa tampak dan bisa dijadikan bahan rekomendasi untuk melakukan tindak perbaikan.
Sayang, coaching guru yang sistematis, konsisten, dan berkelanjutan tak dijadikan opsi terbaik untuk membina guru. Pelatihan tanpa proses tindak lanjut hasil di kelas, guru hanya sekadar tahu tapi tak paham apalagi mampu mengembangkan ilmu untuk melayani kebutuhan belajar siswa.
Beberapa guru menilai kurikulum 2013 mengkebiri kreativitas mereka karena semua sudah disiapkan. Berbeda dengan KTSP yang memberi ruang kreatifitas pada guru menyiapkan silabus. Apa Anda sependapat?
Dalam kurun waktu 40 tahun, perubahan kurikulum kita bersifat luas. Sifatnya top down dan mengubah struktur-materi pelajaran. Dampaknya langsung dirasakan murid, sekolah, orangtua, stakeholders pendidikan lain. Guru tak pernah diberi ruang untuk berkreasi, bahkan sekadar menyampaikan ide masukan perbaikan kurikulum. Kalau guru selaku eksekutor kurikulum di kelas tak didengarkan masukannya, eh apa kata dunia.
Kurikulum 2013 akan diterapkan di sekolah eks RSBI, Sekolah Standar Nasional dan Terakreditasi A. Artinya gurunya berkualitas, fasilitasnya lengkap dan tingkat keberhasilannya besar. Bukankah sebaiknya diterapkan secara reliabel di semua perwakilan sekolah. Ya sekolah unggul, sekolah reguler, sekolah tertinggal, maupun sekolah pelosok, sehingga bisa diukur tingkat keberhasilannya.
Ini cara pemerintah untuk bermain \'aman\'. Nanti mereka bisa bilang, tuh kan berhasil Kurikulum 2013. Ya iya lah, sistem di sekolah project sudah mapan, kualitas kurikulum 2013 jelas-jelas tak bisa diuji kualitasnya. Kurikulum 2013 dikatakan berhasil jika membangun pola kerja yang berorientasi \'best process\'. Artinya, Kurikulum 2013 cukup adaptif diterapkan di berbagai sekolah di Indonesia.
Kalau dikaji secara mendalam. Apa sih masalah dunia pendidikan kita, kurikulumnya, gurunya, atau apa?
Pertama, kekeliruan dahsyat Kemendikbud, Pendidikan berbasis Kompetensi, kecerdasan jadi segalanya. Padahal, Indonesia runtuh karena orang-orang cerdas yang tak punya perilaku baik.
Kedua, sekolah dan fasilitas dihebat-hebatkan, tapi profesi guru masa depannya suram. Kewibawaannya diobrak-abrik. Tak pernah dibina secara serius agar menjadi profesional sejati.
Ketiga kurikulum 2013, kurikulum pendidikan karakter disusun tanpa karakter (bersifat proyek dan korup), apa jadinya? Keempat, sistem pendidikan tak mampu lahirkan anak yang cerdas bernalar, berbudi pekerti mulia, survive menghadapi kehidupan.
Jadi apa kesimpulan Anda tentang kurikulum 2013 ala Muhammad Nuh ini dan apa yang mestinya dilakukan pemerintah agar tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan anak bangsa bisa terwujud?
Kurikulum 2013 diprediksi takkan mampu lahirkan lulusan yang kompeten dan berkarakter, jika pertama, berorientasi proyek dan ada praktik korupsi di dalamnya. Kedua pembinaan guru tak berjalan konsisten dan berkelanjutan. Ketiga, kurikulum dijadikan tujuan, bukan alat untuk perbaikan kualitas pendidikan.
Keeempat, kurikulum tak sungguh-sungguh diimplementasikan. Tak ada evaluasi komprehensif untuk mengawal proses berlangsungnya perubahan kurikulum dari masa ke masa. Kelima, standar nasional pendidikan belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Praktikkan Pendidikan Kompetensi berbasis Karakter. Karakter jadi fondasi pengembangan kompetensi murid. Berharap hadir guru berkualitas, apa jadinya guru dianggap seperti buruh. Jaga kewibawaan profesi guru. Kebijakan yang pro-guru bisa membantu guru menjadikan dirinya sebagai profesional sejati.
Kemudian perubahan kurikulum dilakukan dengan berdasarkan analisis kebutuhan dan mempertimbangkan ide perbaikan dari berbagai stakeholders. Perubahan kurikulum bukanlah tujuan, tapi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih hakiki. Silahkan berubah, tapi mengapa mesti berubah, ini soal penting yang harus dipahami stake holders.
Pemerintah mesti mendorong insan pendidikan (guru dan murid) lebih mau dan mampu bersikap kritis dan kreatif untuk memberikan masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena dengan cara itulah, apa yang dikatakan Sir Ken Robinson \'Do Schools Kill Creativity?\' tak pernah di Indonesia.
Jadi sebaiknya Kurikulum 2013 ditunda atau tetap jalan tapi ujicoba?
Ditunda dulu sampai guru-guru di seluruh penjuru nusantara sudah memahami kurikulum 2013. Jika pemerintah lakukan ini, bukti nyata pemerintah berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Tapi jika masih saja maju terus tanpa mempersiapkan guru sebagai eksekutor utama di lapangan, makin sulit bagi kita untuk tak menerima realita bahwa kebijakan berorientasi proyek, bukan program.
Memilih sekolah sampel untuk uji coba kurikulum 2013, apalagi sekolahnya yang relatif mapan, menunjukkan pemerintah benar-benar tak serius benahi persoalan pendidikan di negeri kita. Apapun kurikulumnya, tanpa guru yang kompeten dan berkarakter, itulah utopia.(fat/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: