Memilih Pemimpin Berkualitas Tanpa Politik Uang Dalam Pilkada Bengkulu
--
Kemudian, ia mengimbau partai politik, tim sukses, relawan, peserta dan pelaksana pemilihan umum untuk tidak menggunakan politik uang, kampanye hitam, kecurangan, penipuan, fitnah, hoaks atau berita tidak benar dan ujaran kebencian karena perbuatan tersebut diharamkan dalam agama.
Menjadi tanggung jawab juga, lanjut dia, bagi partai politik, tim sukses, relawan, peserta dan pelaksana pemilu untuk memberikan pendidikan politik yang benar agar pemilihan umum berkualitas dan bermartabat, termasuk menghindari politik uang.
Ancaman Demokrasi Sejati
Fahruri, pengamat politik sekaligus akademisi dari Universitas Dehasen Bengkulu, menyoroti fenomena politik uang sebagai “budaya” yang telah mengakar dalam setiap pemilu di Bengkulu.
Fenomena ini bukan sekadar isu moral, melainkan ancaman nyata bagi prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan kejujuran.
"Namun karena ada politik uang, kita terkadang memilih bukan karena (kualitas dan kompetensi) figur, tetapi karena uang atau barang (yang ditawarkannya)," ujarnya.
Dalam banyak kasus, politik uang tidak hanya berbentuk uang tunai, tetapi juga dalam bentuk barang seperti sembako yang diberikan kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu.
Politik uang menciptakan ketimpangan dalam kompetisi pemilu, sebab kandidat dengan dana melimpah memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan suara dengan cara ini, sementara kandidat dengan ide atau program kerja yang kuat namun tanpa dana besar akan sulit bersaing.
Hal ini, menurut Fahruri, merusak makna pemilu sebagai wadah pencarian pemimpin terbaik yang memiliki visi untuk memajukan daerah.
Fahruri mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan politik uang terus terjadi di setiap pemilu, terutama di Kota Bengkulu. Salah satu faktor utama adalah kondisi ekonomi masyarakat.
Sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah masih rentan terhadap tawaran insentif, yang kemudian menjadi faktor yang memengaruhi keputusan memilih.
Saat kampanye berlangsung, masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi lebih mudah tergoda oleh iming-iming materi daripada mempertimbangkan visi dan misi kandidat.
Selain faktor ekonomi, kurangnya pendidikan politik juga berkontribusi besar dalam masalah ini. Banyak pemilih pemula atau masyarakat umum yang belum memahami pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan visi kandidat, bukan semata-mata karena pemberian materi.
Akibatnya, politik uang yang awalnya hanya terjadi dalam bentuk kecil kini semakin meluas dan dianggap wajar.
"Politik uang ini sulit untuk dibuktikan, sama dengan halnya korupsi yang tercium tapi tidak terlihat. Analogi sederhananya seperti orang buang angin, berbau tapi tidak terlihat," kata Fahruri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: