Ichwan Yunus Mencari Cinta (5)
Sejak ayahnya meninggal, Rosna sering kali merasa iba menyaksikan ibunya sendiri berjuang melewati sisa-sisa hidupnya. Kalau dalam keadaan sehat, tidak begitu ada masalah, tapi tidak mungkin orang setua ibunya ini selalu dalam kondisi sehat, pasti suatu saat akan jatuh sakit, lalu siapa yang merawatnya, kecuali ia sendiri sebagai anaknya. Di sisi lain Rosna juga berpikir bahwa ia tidak mungkin kuat menahan kehendak batinnya untuk tetap melanjutkan sekolah, tidak mungkin ia akan tahan menyaksikan kawan-kawannya melanjutkan sekolah, sedang ia berdiam diri di rumah. Akhirnya sekuat tenaga dan berbagai macam cara merayu ibunya, supaya diizinkan melanjutkan sekolah. Melihat kegigihan, keteguhan hati dan kebulatan tekad buah hatinya untuk dapat melanjutkan sekolah, akhirnya hati sang ibu luluh juga, dan mengizinkan Rosna melanjutkan sekolah, dengan catatan tidak boleh meninggalkan rumah. Secara kebetulan ketika itu sekitar tahun 1953-an, di Mukomuko telah ada Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Rosna akhirnya melanjutkan sekolahnya di sana sampai tamat kelas III. Setelah tamat belajar di SMR kembali Rosna diingatkan oleh sang ibu akan pesan terakhir ayahnya, bahwa ia tidak boleh lagi melanjutkan sekolahnya, tamat SMP sudah lebih dari cukup. Sang ibunya merasa sudah memberikan toleransi yang sangat besar dengan mengizinkannya melanjutkan sekolah ke SMP sampai tamat. Anehnya Rosna malah menjadi semakin semangat, tekadnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi bertambah bulat. Ia seolah sudah melupakan pesan terakhir ayahnya yang sempat diiyakannya. Kini suasananya menjadi terbalik, anak gadis yang sudah memasuki usia remaja ini semakin pintar beretorika, ia berusaha memberikan pengertian kepada sang ibu tercinta akan pentingnya ilmu pengetahuan, tapi tetap saja sang ibu tidak bergeming. Namun demikian, Rosna juga tidak mau menyerah, dalam setiap kesempatan ia selalu saja memohon kepada sang ibu supaya diizinkan melanjutkan sekolahnya di Bengkulu, sampai akhimya hati sang ibu luluh juga melihat betapa besarnya minat si putri bungsunya ini untuk melanjutkan sekolahnya. Begitu mendapat izin dari ibunya, Rosna dengan riangnya berangkat ke Bengkulu, dan selanjutnya ia mengikuti tes masuk SPG di sana. Di saat pengumuman hasil tes keluar, dan Rosna dinyatakan lulus, hari itu juga datang kakaknya Zaini dari Tanjung Karang bermaksud untuk menjemputnya. Kepada sang adik Zaini berkata singkat: “Janganlah kamu sekolah di sini (di Bengkulu; pen), ikut saya saja ke Tanjung Karang dan sekolah di sana saja\", kata Rosna menirukan kembali kata-kata kakaknya. Anehnya, Rosna tidak mempunyai kekuatan sama sekali untuk menolak ajakan sang kakak, dan berangkatlah Rosna bersama kakaknya ke Tanjung Karang. Tidak lama setelah tinggal bersama kakaknya di sana, Rosna mengikuti tes masuk Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK),dan dinyatakan lulus, maka resmilah Rosna menjadi siswa SGTK Tanjung Karang sampai tamat. Karena pada saat itu di Indonesia pada umumnya dan di Tanjung Karang khususnya, tamatan SGTK masih tergolong langka. Begitu tamat, Rosna langsung mendapat tawaran untuk mengajar di Taman Kanak-Kanak tidak jauh dari tempat ia tinggal bersama kakaknya. Belum sempat ia mengajar di TK yang menawarinya, Rosna lantas dijemput oleh kakaknya yang menetap di Palembang, dan berangkatlah Rosna ke Palembang mengikuti kakaknya. Secara kebetulan kakak iparnya yang di Palembang ini mengajar di Taman Kanak-Kanak Persatuan Isteri Tentara (TK Persit). Rosna juga diminta untuk turut mengajar di sana, dan akhirnya di TK Persit inilah untuk pertama kalinya Rosna mengajar. Tidak betapa lama mengajar di TK Persit Palembang, Rosna kembali lagi ke Tanjung Karang dengan maksud melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda, yakni melanjutkan sekolahnya ke SPG di Tanjung Karang. Pada waktu yang sama Kakaknya yang di Bengkulu mudik ke Mukomuko untuk menjenguk sang ibu, betapa sedih dan prihatinnya sang kakak menyaksikan sang ibu yang semakin sepuh itu tinggal di rumah sebatang kara, tanpa ada yang menemani, apa lagi merawatnya. Ketika itu, dalam pikiran sang kakak tidak ada jalan lain kecuali si bungsu Rosna harus pulang ke Mukomuko untuk menemani dan merawat ibu. Setelah itu, berangkat sang kakak ke Tanjung Karang untuk menjemput Rosna. Kepada sang adik ia bercerita bahwa baru saja ia pulang ke Mukomuko, betapa memprihatinkannya kondisi ibu yang sudah tua tinggal sendirian, tidak ada yang menemani. Mendengar cerita sang kakak, hati Rosna sangat sedih karena merasa bersalah telah meninggalkan ibunya sendiri di rumah, ingin sekali ia segera kembali menemui ibunya. Di sisi lain, hatinya juga sangat berat untuk meninggalkan Tanjung Karang lantaran keinginannya untuk meraih cita-cita melanjutkan sekolah ke SGP masih sangat besar. Rosna betul-betul dihadapkan pada dua pilihan sangat berat. Karena tidak banyak waktu untuk ber?kir, maka dalam waktu singkat ia memutuskan untuk memilih ibunya dan kembali ke Mukomuko. Cita-citanya untuk sekolah dan menamatkan SPG kini pupus sudah. Tidak lama setelah kepulangannya ke Mukomuko, Rosna sudah mulai berpikir bagaimana caranya supaya ilmu dan pengalaman yang ia miliki dapat disumbangkan pada masyarakatnya. Rosna mulai menjalin komunikasi kepada masyarakat Mukomuko, dimulai dari keluarga terdekat dan sanak famili, meluas ke tokoh masyarakat, tokoh muda-mudi, tokoh adat dan seterusnya, terutama Orang-orang yang terbuka dengan dunia pendidikan. Kepada siapa saja yang sempat ia temui, Rosna mengemukakan dan meyakinkan betapa pentingnya pendidikan usia dini bagi anak-anak. Sebelum masuk Sekolah Dasar, sebaiknya anak-anak dipersiapkan terlebih dahulu, baik dari segi pengetahuan dasar maupun dari segi mental. Dengan demikian, maka ketika memasuki SD, anak-anak sudah benar-benar siap, terutama mentalnya. Desa Mukomuko, yang konon pernah menjadi pusat kerajaan masa lalu, kemudian menjadi kewedanaan pada zaman penjajahan Belanda ini. Disamping wilayahnya yang cukup luas, juga memiliki banyak penduduk, sudah saatnya memiliki sebuah Taman Kanak-Kanak sebagai tempat anak-anak belajar sambil bermain. Gayung bersambut, pantun bersahut, ide dan gagasan gadis terpelajar yang baru menginjak dewasa ini mendapatkan respon positif dari keluarga dan masyarakatnya. Mendapat lampu hijau dari keluarga dan para tokoh masyarakat, Rosna segera mempersiapkan segala sesuatunya, terutama menyangkut hal yang paling penting dan pokok, dan masalah tehnis lainnya. Karena gagasan ini didukung oleh semua komponen masyarakat Mukomuko, maka tidak ada kesulitan bagi Rosna mendapatkan izin untuk memakai Gedung Bundar (masyarakat Mukomuko lebih mengenalnya dengan sebutan Gedung Bola) di desanya, sebagai tempat dilaksanakannya proses belajar mengajar Taman Kanak-Kanak yang diberi nama TK Rahayu itu.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: