Bagaspati Raseksa Pinandita, Sosok Raksasa Berhati Mulia
Begawan Bagaspati Brahmana pinandita yang berwajah raseksa itu dengan tenang berpulang ke alam asalnya.--
BENGKULUEKSPRESS.COM - Baik buruknya kualitas suatu benda umumnya di nilai dari perbedaan buruk. Baik bentuknya baik pula kualitasnya. Buruk bentuknya buruk pula mutunya. Tetapi hukum perbedaan dua unsur itu tidak selalu stabil nilai kualitasnya, ada yang baik bentuknya ternyata buruk kualitasnya, Buruk bentuknya justru baik kualitasnya.
Demikian pula dengan manusia, yang tampan dan cantik parasnya, ‘hati’nya tidak selalu setampan atau secantik parasnya. Baik buruknya kelakuan manusia akan tergantung dari manusianya itu sendiri, tidak selalu tergantung pada wujud lahiriahnya. Kadang-kadang kita sering disilaukan oleh wujud lahiriahnya, padahal belum tentu wujud yang kemilau itu isinya baik. Sifat yang kontroversial selalu menjadi ciri yang alami dalam kehidupan.
BACA JUGA:Batari Durga, Dewi Cantik Jelita Istri Batara Guru
Peribahasa mengatakan: tempurung berbulu berisi madu. Artinya di luarnya buruk isinya semanis madu. Lahir dan batin tidak selalu memiliki nilai yang seimbang. peribahasa ini cocok bagi Begawan Bagaspati penghuni padepokan Arga Belah. Ia berwujud dan berwajah raseksa tetapi hatinya mulia, baik tutur bahasanya, lemah lembut ramah tamah, sering menolong orang yang sedang kesusahan, memberi obor kepada yang sedang kegelapan, sehingga ia dihormati dan disukai masyarakat di sekitar padepokan itu.
Sebaliknya Narasoma (menantunya) orangnya tampan dan gagah, putra seorang raja memiliki daya tarik yang tinggi, tetapi sifatnya angkuh dan tinggi hati. Hal itu nampak ketika ia menghadapi problem memendam perasaan benci kepada mertuanya karena berwajah raseksa. Kebencian menjadi suatu obsesi yang sukar dihilangkan.
Dalam hal ini agaknya ia masih berpikir secara realistis, bahwa soal cinta tidak tergantung tinggi rendanya harkat derajat, miskin atau kaya. Namun walau bagaimanapun dalilnya itu berarti, anaknya dicintai sepenuh hati, bapaknya dibenci setengah mati. Lebih nekad lagi obsesinya itu disampaikan kepada Pujawati (istrinya) dengan mengaku mimpi diberi cincin oleh mertuanya. Cincin itu terbuat dari emas murni dihiasi berlian melingkari sebuah batu yang buruk rupanya sehingga nampak tidak seimbang, karena itu batunya harus disingkirkan. Pujawati atau Satyawati terkejut menyimpan arti mimpi kias suaminya.
BACA JUGA:Agar Anak Memiliki Masa Depan yang Cerah, Mbah Moen Bagikan Kuncinya
Ia mengerti makna di balik mimpi kias itu. Bagaikan peribahasa, dalamnya laut masih bisa diukur, hati manusia siapa tahu, paling tidak hanya kira-kira. Kemilau lahirny tapi guram batinnya. Hampir tak percaya di balik penampilan yang menawan penuh kharisma tersembunyi benih kebencian terhadap ayahnya hanya karena berwajah seperti raseksa.
Sedih tak terperihkan hati pedih bagai terisis tak tahu harus berbuat apa. Marah tak bisa protes pun tak mampu, jadilah sebuah dilema yang sulit dipecahkan. Betapa tidak, ia menghadapi cinta segitiga. Kepada suami ia cinta dan satu-satunya tempat menggantungkan hidup di kemudianhari, pada sisi lain tak ada yang wajib dihormati dan dicintai di dunia ini kecuali orang tua yang telah membesarkan mengurus dan mendidik hingga dewasa.
Narasoma tanggap apa yang dirisaukan istrinya. Kemudian dengan diplomatis ia menjelaskan: “Dinda sayang, aku tidak membenci Rama Begawan, beliau mertuaku. Cuma yang tak kusukai wajahnya seperti raseksa. Ini dapat menjatuhkan martabat kita di mata orang banyak,” kilahnya. Suatu pernyataan yang terus terang tanpa memperdulikan ketersinggungan perasaan orang lain, menunjukkan sikap mental yang angkuh memandang rendah harkat derajat mertuanya.
BACA JUGA:Bima Bungkus, Kisah Kelahiran Werkudara yang Melegenda
Karena tidak mampu mengatasi persoalan itu, akhirnya Setyawati menyampaikan mimpi kias suaminya kepada ayahnya seraya berkata dengan suara yang pilu: “Rama Begawan, bunuhlah hamba. Hamba tidak sanggup menghadapi persoalan yang rumit ini,” ratapnya.
Bagaspati terperangah sejenak setelah memahami makna di balik mimpi kias menantunya. Tak disangka menantu menyimpan hati yang munafik. Membersit perasaan sakit di hati tapi tak berlangsung lama. predikat sebagai seorang Brahmana yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, kesadaran selalu menuntun rasa eling kepada Yang maha Kuasa, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Ia menyadari bahwa putrinya sedang menghadapi dilema cinta segitiga, kepada suami ia cinta, tapi juga sayang kepada orang tua selain memikirkan nasib dirinya di kemudian hari. Ia tidak akan membiarkan anaknya merana tanpa kepastian. Sedangkan ia telah cukup lama menghirup udara pahit manisnya kehidupan dunia, sementara putrinya baru akan melangkah menata kepastian hidupnya.
Mengingat hal itu tidak ada jalan lain kecuali pasrah kepada keinginan menantunya yang ingin menyingkirkan dirinya dari percaturan hidup ini dengan jaminan, bahwa narasoma tidak akan menyia-nyiakan kecintaan dan kesetiaan istrinya untuk selama-lamanya. Di samping itu Bagaspati akan memberikan ajian yang tiada duanya di dunia yaitu, aji Candra Bairawa yang dapat mendatangkan ribuan bala raseksa yang ganas dan menakutkan. Karena selama ajian itu masih menyatu dengan dirinya, maka siapa pun tidak akan memapu menewaskan dirinya. Tetapi diamanatkan agar Narasoma tidak menggunakan ajian itu sembarang waktu selain saat diperlukan.
BACA JUGA:Jamus Kalimosodo, Senjata Andalan Prabu Puntadewa
Semua amanat mertua diterima oleh Narasoma dengan sumpah bahwa ia akan sehidup semati dengan istrinya hingga akhir hayatnya dan tidak akan mempergunakan aji Candra Bairawa selain saat dibutuhkan. Demikianlah setelah ajian itu dititiskan maka Begawan Bagaspati Brahmana pinandita yang berwajah raseksa itu dengan tenang berpulang ke alam asalnya.
Selang beberapa waktu Narasoma memboyong Setyawati pulang ke negeranya dan menduduki tahta kerajaan Mandaraka dengan nama Prabu Salya. Janji untuk tetap mencintai istrinya dipenuhi. Hingga masa tuanya ia hidup bahagia dengan istrinya bagai pengantin baru untuk selama-lamanya. Namun hukum karma atas dosa terhadap mertua tetap berlaku. Konon menurut cerita, ia mati termakan oleh ajiannya sendiri yakni dimangsa aji Candra Bairawa dalam perang Baratayudha ketika melawan Yudhistira.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: