Diundang ke Prancis, Baju Dibikin Penjahit Terbaik Madura ??
Sri Fatmawati, Dosen ITS Peraih International Fellowship L\"Oreal for Women in Science 2013
Penelitian tentang sponge, binatang yang hidup di laut,
membawa Sri Fatmawati SSi MSc PhD meraih penghargaan prestise di Prancis.
Wartawan Jawa Pos ANY RUFAIDAH ikut menyaksikan penyerahan penghargaan kelas dunia itu untuk perempuan asal Sampang, Madura, tersebut. ??--- ?
SENYUM Sri Fatmawati mengembang ketika Elizabeth Tchoungi dari L\"Oreal memintanya bergabung dengan deretan para peneliti yang lebih dulu berdiri di panggung Grand Amphitheatre, Sorbonne University, Paris, Prancis, Kamis malam (28/3) atau Jumat dini hari WIB. Fatma, begitu dia biasa disapa, merupakan seorang di antara 15 perempuan peneliti dari seluruh dunia yang meraih penghargaan International Fellowship L\"Oreal for Women in Science 2013. ??Mengenakan kebaya ungu, alumnus Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tersebut terlihat percaya diri tampil di hadapan ribuan audiens yang memenuhi auditorium berhias patung ilmuwan Descartes dan Pascal tersebut. Tampak di deretan kursi terdepan Dirjen UNESCO Irina Bokova dan Jean Paul Argon, CEO L\"Oreal sekaligus ketua L\"Oreal Foundation. Acara tahunan yang digagas perusahaan kosmetik L\"Oreal dan UNESCO tersebut memberikan penghargaan kepada perempuan peneliti dari seluruh dunia untuk karya yang dianggap memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan, terutama sains dan lingkungan hidup. Mereka juga diharapkan bisa menjadi role model yang mendorong perempuan lain agar mau terjun di dunia riset yang selama ini didominasi kaum laki-laki. Ada dua jenis penghargaan yang diberikan. Penghargaan utama adalah laureates untuk peneliti senior. Lima pemenang dari lima benua. Selama 15 tahun program itu berlangsung, sudah dua laureate menerima penghargaan Nobel. Yakni, Elizabeth Blackburn dari Amerika Serikat yang menjadi laureates pada 2008. Dia meraih Nobel di bidang ilmu kedokteran. Setahun kemudian, Yonath dari Israel menerima Nobel di bidang kimia. Penghargaan di bawahnya adalah international fellowship untuk peneliti yang masih berusia kurang dari 35 tahun. Mereka mendapat beasiswa untuk melanjutkan penelitiannya di universitas yang sudah ditentukan penyelenggara. Tiap kontinen diwakili tiga pemenang. Fatma merupakan pemenang dari kawasan Asia Pasifik untuk kategori tersebut. Dia mendapat penghargaan bersama dua pemenang lainnya: Kanika Mitra dari Bangladesh dan Enkhmaa Davaasambuu dari Mongolia. Berkat prestasi itu, Fatma menerima hadiah USD 40 ribu (Rp 388 juta dengan kurs USD 1 = Rp 9.700) dan berkesempatan melakukan penelitian di Institute of Natural Products Chemistry, National Center for Scientific Research (CNRS) Gif-sur-Yvette, Prancis. Dosen ITS untuk laboratorium bahan kimia alam tersebut bakal melanjutkan penelitiannya tentang sponge, organisme multiseluler yang banyak ditemukan di laut Indonesia. Menurut dia, sponge mengandung senyawa yang jika dikembangkan bisa dimanfaatkan untuk obat kanker atau alzheimer. \"\"Selama ini saya meneliti senyawa dari tanaman di darat. Sekarang saya tertarik dengan makhluk hidup di laut karena senyawanya jauh lebih kompleks,\"\" tutur perempuan yang mendapat gelar doctor of philosophy (PhD) dari Kyushu University, Fukuoka, Jepang, tersebut. Fatma mengaku sejak lama jatuh cinta pada senyawa. Ketika melihat makhluk hidup, terutama jenis tanaman, dia selalu penasaran akan berbagai senyawa yang terkandung di dalamnya. Apalagi, sejak kecil dia terbiasa mengonsumsi jamu yang dibuat dari hasil tanaman. Itulah yang juga menginspirasi dirinya untuk meneliti senyawa jamur lingzhi untuk program S-3 yang ditempuhnya di Jepang. \"\"Penelitian saya membuktikan, senyawa dalam jamur lingzhi bisa dimanfaatkan untuk obat diabetes,\"\" tuturnya. Penghargaan yang diterima sebagai peneliti dunia itu telah diimpikan sejak tujuh tahun silam. \"\"Saya melihat leaflet tentang acara itu pada 2006 di kampus. Setelah baca, saya langsung bertekad, suatu hari nanti saya jadi pemenangnya,\"\" ungkap putri pasangan Siti Hasanah dan Muhammad Munif itu lantas tertawa lepas. Pembawaannya yang ramah dan ceplas-ceplos membuat orang yang pertama mengenal tak menyangka bahwa Fatma adalah seorang peneliti yang betah berjam-jam di laboratorium. \"\"Jangan dikira peneliti itu kutu buku lho. Saya juga mengikuti perkembangan mode. Tapi, bapak dan suami saya selalu memberikan masukan atas penampilan saya,\"\" tutur perempuan kelahiran Pandiyan, Sampang, Madura, 3 November 1980 (33 tahun), tersebut. Fatma bercerita, berbagai prestasi yang dia raih berawal dari mimpi. \"\"Tapi, mimpinya bertahap. Misalnya, waktu kuliah S-1, saya bermimpi bisa kuliah S-2, dan seterusnya,\"\" kata ibu Fahira Yumiko Azzahra dan Filza Michiko Farzama tersebut. Karena itu, tak heran, setelah meraih penghargaan dari Prancis tersebut, dia mulai bermimpi untuk meraih Nobel. \"\"Namanya mimpi, kan harus tinggi, setinggi langit,\"\" tegas penghobi karaoke itu. Menurut Fatma, orang yang berada di balik kesuksesan dirinya adalah sang ayah. Ayahnya yang \"\"hanya\"\" guru SD di Sampang, Madura, itu terus mendorong dirinya untuk bersekolah setinggi-tingginya. \"\"Perempuan itu bermartabat kalau punya ilmu,\"\" begitu Fatma menirukan pernyataan sang ayah kala dirinya masih kanak-kanak. Sang ayah tak hanya bisa meminta, dia juga menemani Fatma belajar dan memenuhi semua kebutuhannya dalam menuntut ilmu. \"\"Saya paling suka belajar malam, setelah tahajud. Nah, biasanya Bapak juga bangun dan menemani saya belajar. Jadi, saya sungkan kalau malas-malasan,\"\" tutur sulung tiga bersaudara itu. \"\"Untuk acara penerimaan penghargaan ini, saya harus pakai baju formal. Bapak saya yang membelikan kainnya, terus beliau juga yang keliling Madura untuk mencari penjahit terbaik,\"\" cerita Fatma dengan bangga. Dukungan yang tidak kalah penting, tentu saja, datang dari sang suami, Adi Setyo Purnomo SSi MSc PhD. \"\"Dulu dia itu saingan terberat saya saat kuliah,\"\" katanya lantas terbahak. Mereka bertemu ketika sama-sama kuliah di Teknik Kimia ITS angkatan 1998. Empat tahun kemudian, mereka lulus bersamaan. \"\"Lulus pas empat tahun itu susah. Waktu itu hanya ada empat orang. Termasuk saya dan suami,\"\" ujarnya. Karena memiliki passion yang sama di bidang pendidikan, setelah menikah, keduanya tetap meneruskan sekolah. Kebetulan, keduanya berhasil mendapat beasiswa ke Jepang hingga bisa membentuk keluarga kecil di Negeri Sakura itu. Fatma mengakui, menjadi perempuan peneliti bukan hal yang mudah. Tidak hanya dituntut bekerja lebih keras agar kemampuannya diakui, perempuan peneliti masih harus mengalokasikan waktu untuk mengasuh anak-anak. Meski begitu, pengalaman yang didapat Fatma membuktikan bahwa perempuan tetap bisa berkarya di tengah kesibukan sehari-hari mengurusi rumah tangga. Bahkan, lebih dari itu, mencatat prestasi internasional. \"\"Saya berharap hasil penelitian saya nanti bisa bermanfaat untuk pengobatan berbagai penyakit,\"\" tegasnya. Karena itu, Fatma membuka peluang selebar-lebarnya untuk bekerja sama dengan peneliti lintas ilmu seperti di bidang kedokteran. \"\"Untuk mengembangkan senyawa menjadi obat, dibutuhkan pendekatan banyak ilmu. Saya dan laboratorium di ITS sangat terbuka untuk menjalin kerja sama dengan peneliti bidang lain,\"\" ungkapnya. (*/c5/ari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: