Jhator: Ritual Pemakaman Ekstrim Tumbalkan Jasad Manusia pada Burung

Jhator: Ritual Pemakaman Ekstrim Tumbalkan Jasad Manusia pada Burung

Prosesi Jhator dalam pandangan Buddha tak lepas dari keterkaitannya dengan burung pemangsa, khususnya burung nasar.--

BENGKULUEKSPRESS.COM - Di dunia ini ada banyak tradisi pemakaman yang unik dan tak biasa, bahkan ada juga yang tergolong ekstrim. Tradisi-tradisi ini biasanya berkaitan dengan kepercayaan yang mengakar di wilayah tersebut.

Salah satu contoh tradisi pemakaman yang tergolong ekstrim berasal dari Tibet. Tradisi pemakaman khas Tibet ini disebut sebagai Jhator. pemakaman langit (sky burial) atau yang lebih sering disebut Jhator merupakan salah satu tradisi pemakaman kuno yang telah dilakukan oleh masyarakat penganut agama Buddha di Tibet sejak 11 ribu tahun lalu.

Secara sederhana, Jhator merupakan sebuah ritual pemakaman yang dilakukan dengan membiarkan jenazah seseorang dimakan oleh kawanan burung pemangsa.

BACA JUGA:Tips Jitu Cara Menghilangkan Ketombe dan Rambut Rontok

Pada masa lalu, prosesi Jhator hanya dilakukan pada jenazah para Lama tingkat tinggi dan pejabat berpangkat tinggi lainnya. Melansir dari How Stuff Works, kondisi geografis Tibet menjadi salah satu alasan lahirnya tradisi Jhator. Tibet dikenal sebagai salah satu tempat tertinggi di muka bumi (sekitar 5000 meter di atas permukaan laut).

Tibet memiliki permukaan tanah yang cenderung tandus, berbatu dan beku, sehingga menyebabkan pepohonan menjadi sulit untuk tumbuh dan kayu menjadi salah satu komoditas langka di wilayah tersebut.

Hal ini pun memberikan dampak terhadap prosesi pemakaman di wilayah tersebut. Prosesi penguburan jenazah menjadi tidak mungkin dilakukan karena penggalian tanah yang sulit. Demikian halnya dengan kremasi, prosesi ini tak dapat dilakukan dengan mudah mengingat komoditas kayu di Tibet sangat langka.

Sampai saat ini prosesi Jhator masih dilakukan. Dan seiring berkembangnya zaman, tradisi Jhator juga telah banyak dilakukan pada jenazah masyarakat umum keturunan asli Tibet. Tak sekadar jadi tradisi, Jhator juga menjadi salah satu destinasi wisata yang memikat banyak wisatawan untuk mengunjungi Tibet.

 

BACA JUGA:Efektifkah Menghilangkan Kutil dengan Pasta Gigi? Begini Caranya

Filosofi Jhator dalam Kepercayaan Reinkarnasi Buddha Tibet

Prosesi Jhator dalam pandangan Buddha tak lepas dari keterkaitannya dengan burung pemangsa, khususnya burung nasar. Dimana dalam budaya Tibet, burung pemangsa ini dianggap sebagai ‘burung suci’ yang merupakan jelmaan Dakini (malaikat).

Dimana umat Buddha Tibet percaya bahwa burung ini bertugas untuk membawa jiwa-jiwa yang telah terbebas dari tubuh menuju surga. Hal inilah yang kemudian menghubungkan Jhator dengan konsep reinkarnasi dalam kepercayaan Buddha.

Pada umumnya, penganut kepercayaan Buddha percaya akan adanya reinkarnasi. Oleh umat Buddha Tibet pada khususnya, mereka percaya bahwa setelah kematian, seiring dengan berpindahnya roh, tubuh tak lebih dari sekadar cangkang.

BACA JUGA:Cadel Saat Usia Dewasa? Begini Cara Mengatasinya

Umat Buddha Tibet memandang kematian sebagai sebuah perjalanan dari kehidupan saat ini ke kehidupan berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mempersiapkan perjalanan ruang antara kematian dan kelahiran kembali dengan aman. Siklus perjalanan spiritual ini dikenal dengan istilah ‘bardo’.

Dalam mempersiapkan perjalanan spiritual tersebut, umat Buddha Tibet mengacu pada sebuah teks panduan yang berasal dari abad ke-8 berjudul “Bardo Thodol” atau “Liberation in the Intermediate State Through Hearing”. Oleh masyarakat Barat, catatan kuno ini disebut sebagai “Tibetan Book of the Dead”.

Ketika seseorang meninggal, anggota keluarga dan para biksu biasanya akan mendampingi mendiang dan dapat membantu perjalanan roh tersebut dengan membaca mantra dan doa dari teks suci (Bardo Thodol).
Makan 1 sendok sebelum tidur, turunkan 24 kg dalam 7 hari

Seperti yang dilansir dari Earth Funeral, umat Buddha Tibet percaya bahwa roh yang telah terpisah dari tubuh dapat terlahir kembali setelah menempuh perjalanan selama 49 hari (hal ini sesuai dengan jumlah tingkatan bardo). Dengan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa “Bardo Thodol” tak lain merupakan sebuat buku panduan yang menjelaskan tentang segala hal untuk menuju reinkarnasi itu sendiri.

BACA JUGA:Waspada Osteoporosis, Berikut Cara Mencegah Osteoporosis

Mulai dari ritual-ritual bagi orang yang sekarat hingga panduan bagi orang-orang yang merawat atau mendampingi orang sekarat tersebut dari sebelum, saat dan setelah kematian. Prosesi Jhator merupakan salah satu hal yang juga dimuat dalam buku tersebut.

Prosesi Ritual Jhator
Ada dua jenis prosesi Jhator yang biasa dilakukan di Tibet. Yang pertama adalah dengan meletakkan jenazah secara utuh dan terkesan dibiarkan begitu saja. Prosesi satu ini biasa dilakukan oleh penduduk di desa terpencil dan pengembara.

Sedangkan jenis yang kedua merupakan prosesi Jhator yang lebih rumit dan sangat kental unsur spiritualnya. Dimana prosesi inilah yang saat ini akan kita kulik lebih dalam. Setelah dinyatakan meninggal, jenazah akan didiamkan dalam posisi duduk selama 3 sampai 5 hari. Dalam periode waktu ini, seorang Lama (pemimpin spiritual) akan membacakan doa-doa dengan merujuk pada “Bardo Thodol”. Selama periode ini juga, anggota keluarga akan memberikan persembahan dan memanjatkan doa di biara.

Sebelum memasuki ritual utama Jhator, jenazah akan dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih. Jenazah yang telah dibungkus ini selanjutnya akan dibawa ke tempat pemakaman suci (durtro) oleh seorang ahli pemakaman (rogyapa) yang ditunjuk oleh keluarga.

BACA JUGA:Bisa Dilakukan Ini di Rumah! Ini Dia Cara Menyembuhkan Lutut Sakit di Usia Muda

Perjalanan menuju durtro dimulai saat fajar dan bisa memakan waktu yang cukup lama, mengingat lokasi durtro yang biasanya terletak di tempat yang tinggi dan dekat dengan langit. Setibanya di durtro dan memasuki puncak prosesi pemakaman, Lama akan melantunkan doa penebus dosa, sedangkan rogyapa akan mulai mengurus si jenazah.

Kain putih yang menyelimuti jenazah tersebut akan dibuka. Sambil diiringi lantunan doa-doa, rogyapa akan mulai memotong jenazah tersebut dengan pola yang tepat, hal ini bertujuan agar burung pemangsa dapat lebih mudah memakan jenazah tersebut. Untuk tulang-tulang yang tersisa, rogyapa akan menghancurkannya dengan palu, lalu mencampurkannya dengan tsampa (tepung jelai) agar lebih mudah dikonsumsi oleh burung.

Dikutip dari How Stuff Works, saat proses pemotongan dan penghancuran jenazah berlangsung, anggota keluarga tidak diperkenankan untuk menyaksikan hal tersebut. Para anggota keluarga akan tetap tinggal di rumah bersama para Lama yang lain untuk memanjatkan doa selama 49 hari. Hal ini dilakukan untuk membantu roh dari jenazah menuju kelahiran kembali yang lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: