Inyiak Balang, Budaya Masyarakat Minang Menghormati Harimau
Mitologi tentang inyiak ini ternyata juga mengarjakan tentang etika, sopan santun, pranata sosial, dan menjaga norma agama.--
BENGKULUEKSPRESS.COM - Bagi masyarakat Minangkabau, harimau tidak semata dikenal sebagai binatang buas. Hewan ini di perkampungan, memiliki pemaknaan luas dibanding hewan lain. Untuk penyebutan saja, ada yang menyebut hewan ini Inyiak Balang.
Harimau yang mendapat julukan si-Ampang Limo, secara tradisi dianggap memiliki perasaan, kepekaan yang baik serta mengerti salah dan benar. Sudah turun menurun, harimau menyimpan arti sebagai hewan yang dihormati.
BACA JUGA: Aleksandria, Kota Modern Kaum Intelektual dalam Sejarah Dunia Kuno
Inyiak harimau dapat diartikan menjadi dua definisi. Pertama ialah inyiak harimau sebagai penjaga hutan yang memiliki beberapa fungsi sosial, kultural, ekologi. Kedua ialah inyiak harimau sebagai pelindung orang Minang yang sedang merantau.
Dosen Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unad) Padang M Yunis menjelaskan, orang Minang jarang menyebut langsung harimau. Tetapi lebih sering disebut “inyiak” atau Inyiak Balang. Inyiak dianggap suci yang artinya adalah kakek atau bapak.
“Orang Minang secara umum memandang harimau sebagai sosok yang melindungi, karena kakek atau bapak dari ayah atau dari ibu, yang tentu saja melindungi, begitu orang Minang menghargai harimau,” katanya.
Sebagai penjaga hutan, Inyiak Balang dipercaya sebagai makhluk setengah manusia setengah harimau. Ada yang menyatakan Inyiak Balang adalah manusia yang mempelajari magi putih sehingga bisa berubah menjadi harimau.
BACA JUGA:Baking Soda Bikin Wajahmu Semakin Glowing
Di sisi lain, ada yang percaya bahwa sejak awal makhluk ini memang siluman harimau yang dapat berubah menjadi manusia, harimau, atau manusia harimau. Tetapi dari dua versi ini, Inyiak Balang dipercaya bisa berkomunikasi dengan kelompok manusia dan harimau.
Mitosnya pada masa lampau inyiak harimau pernah menjembatani kontrak sosial antara manusia dan harimau untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Makhluk ini dianggap sosok yang tepat untuk menjembatani kontrak tersebut.
“Identitas diri yang cair ini menyebabkan inyiak harimau dapat diterima di dua kelompok yang berbeda tersebut,” jelas Febi R Ramadhan dalam jurnal academia berjudul Folklor dan hantu-hantu: Pemaknaan Orang Minang pada Palasik, Bunian, dan Inyiak Harimau.
BACA JUGA:Body Goals, Senam Pilates Bikin Badan Langsing dan Sehat
Definisi inyiak harimau yang kedua ialah penjaga orang Minang ketika sedang merantau. Tiap orang Minang dipercaya memiliki inyiak yang menjaganya, namun tidak orang Minang memiliki kemampuan untuk melihat dan mengenali inyiaknya.“Hanya sejumlah orang Minang yang dapat melihat dan mengenali inyiaknya karena telah diajarkan oleh keluarganya,” bebernya.
Hubungan saling hormat
Inyiak kerapkali digambarkan sebagai harimau jadi-jadian yang menjaga hutan. Inyak tinggal di hutan dan menjaga keseimbangan hutan tersebut agar tidak diganggu oleh manusia. Banyak orang yang percaya makhluk ini memakan durian.
“Karena itu apabila terdapat durian yang jatuh di hutan, durian itu tidak boleh disentuh karena durian tersebut ialah jatak dari inyak harimau,” ucap Febri.
BACA JUGA:Tanggal Lahir Ini Bakal Susah Kaya Lantaran Kena Kutukan dari Nenek Moyang
Di Kabupaten Solok, Inyiak Balang ada yang berhabitat di areal perladangan, hutan ulayat, dengan sebutan si Ampang Limo, sebutan lainnya ada datuak. Istilah datuak biasanya digunakan untuk menyebut orang yang dituakan dalam adat.
Meski begitu, inyiak harimau sangat jarang memperlihatkan wujud aslinya (tubuh belang), melainkan bisa dibaca secara isyarat. Ketika ada seseorang yang tersesat di hutan, makhluk ini suka memberikan pertolongan.
Tetapi sebaliknya bisa saja marah bila ada warga yang kedapatan berbuat tidak terpuji atau kejahatan. Masyarakat di sana percaya harimau tidak akan muncul di hadapan manusia apabila mereka tidak berbuat salah.
BACA JUGA:Ini Kemungkinan Smartphone akan Rilis di Awal Tahun 2024, Antisipasi Inovasi dan Kinerja Unggul
Warga kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, Dasril pernah memiliki pengalaman terkait Inyiak Balang di kampungnya. Ketika itu dirinya tersesat sepulang mencari madu di hutan ulayat kampungnya.
Ketika itu senja, hari mulai gelap. Dirinya kesulitan untuk mencari jalan pulang. Lantas Dasril meminta bantuan kepada inyiak melalui isyarat. Tidak lama, muncul suara ranting kayu patah, kemudian Dasril mengikuti suara tarsebut. Dirinya pun sampai ke jalan umum dekat hutan menuju kampung.
Kehadiran harimau di hutan ketika tersesat menjadi isyarat bahwa sesungguhnya hewan ini hadir dalam keseharian warga setempat. Terkadang, harimau memberi tahu keberadaan mereka dengan jejak telapak kaki, atau durian yang terbelah rapih tanpa terpisah dengan tampuknya.
Karena itulah ada hubungan saling menghormati antara manusia dan harimau di Sumatra Barat (Sumbar). Misalnya saja dalam kisah seorang pangeran dari Kerajaan Minangkabau yang membantu anak harimau saat terjatuh dalam jurang.
BACA JUGA:Kejari dan Inspektorat Bengkulu Tinjau Pembangunan Proyek Pelapis Tebing Sungai Rupat
Sebagai balasan, ayah dari harimau ini berjanji tidak akan menggangu anak cucu pangeran yang tersesat dalam hutan. Tetapi dengan syarat adalah waktu siang bagi manusia sedangkan malam adalah waktu bagi harimau. “Itulah mengapa kami selalu sudah pulang ke rumah sebelum Magrib, karena jatah kami itu siang hari dan jatah sang inyiak itu malam hari,” papar Jafran yang disadur dari artikel “Inyiak” dalam Kearifan Lokal Minangkabau karya Fitri Aziza.
Legenda sebagai upaya konservasi
Mitologi tentang inyiak ini ternyata juga mengarjakan tentang etika, sopan santun, pranata sosial, dan menjaga norma agama. Secara tidak langsung, kepercayaan ini seperti menjaga alam dan harimau yang ada di hutan Sumbar.
Dipercaya juga dahulu, para nenek moyang di Minang sering terjadi kerja sama antara harimau dengan manusia. Anggapan ini membuat orang Minang menghormati hewan buas tersebut. Misalnya saja ketika ada jejak harimau, maka ini sudah menjadi koreksi bagi masyarakat tentang kesalahan dan dosa apa yang telah diperbuat. Kalau tidak marah, maka dia tidak akan datang. Kepercayaan ini merata dianut di perkampungan Sumbar.
Bisa saja ada penebangan pohon yang sedang terjadi di atas gunung. Maka hal ini harus dihentikan karena membahayakan habitat mereka. Nilai-nilai seperti ini menurutnya, harus menjadi kearifan lokal yang terus dijaga di tengah masyarakat.
BACA JUGA: Mandi Bareng bagi Suami Istri, Bagaimana Etikanya?
Apalagi hampir semua tempat di Pulau Sumatra memiliki panggilan penghormatan kepada harimau, bagi Ardi ini merupakan upaya konservasi yang dibungkus dengan nilai budaya. Karena itu dirinya berharap nilai ini juga berlaku di Sumbar.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: