Ichwan Yunus Mencari Cinta (1)

Ichwan Yunus Mencari Cinta (1)

\"IMG3Korban Gestapu Sejak kecil Ichwan dikenal sebagai sosok yang pandai bergaul, perawakan tubuh yang kecil dan pendek.  Namun ia enerjik, periang, suka humor dan penuh perhatian membuat ia disenangi oleh kawan-kawannya, termasuk teman-teman wanitanya. Sampai menjelang akhir sekolah SMEA di Palembang, ia belum pernah memiliki teman wanita yang khusus dalam sebuah ikatan cinta muda mudi (baca: pacaran). Bukan berarti tidak ada wanita yang mempunyai perhatian khusus dengannya, dan bukan berarti pula dalam diri Ichwan sama sekali tidak merasakan sesuatu yang istimewa terhadap salah satu atau beberapa teman wanitanya.  Perhatiannya lebih tercurah pada studi, terutama sejak peristiwa pahit yang menimpanya ketika tinggal kelas di SMEP Bengkulu. Di samping itu, juga karena di balik sifatnya yang percaya diri itu, ada sifat pemalu terutama terhadap lawan jenisnya. Selepas SMEA, mulailah Ichwan bekerja sambil kuliah, seiring dengan usianya yang menginjak dewasa Ichwan mulai membina hubungan khusus dengan seorang gadis yang juga berasal dari Mukomuko ketika itu sedang sekolah kebidanan. Mula-mula hubungan keduanya tidak lebih dari hubungan persahabatan, yang diikat dengan tali primordial kesukuan senasib dan sepenanggungan merantau di negeri orang. Maklum jarak Mukomuko-Palembang masih terasa sangat jauh karena akses transportasi dan komunikasi yang masih sangat sulit. Lama kelamaan hubungan persahabatan itu berubah menjadi saling membutuhkan dan saling menyayangi, layaknya ikatan asmara antara seorang pria dan wanita yang sama-sama menginjak dewasa, walaupun dinyatakan hanya melalui surat menyurat saja. Jauh berbeda dengan pargaulan muda mudi sekarang ini yang cenderung mengabaikan tata nilai, baik agama maupun adat istiadat. Pergaulan bebas didukung oleh sarana dan prasarana komunikasi modern, baik cetak maupun elektronik. Pada zaman Ichwan menginjak dewasa pergaulan dan/atau hubungan cinta muda mudi lebih banyak melalui  surat daripada bertemu dan berkomunikasi langsung. Disamping karena mereka masih menjunjung tinggi tata nilai baik agama maupun adat istiadat, juga karena sarana dan prasarana komunikasi masih minim. Jangankan HP seperti sekarang ini telpon kabel pun belum ada, yang bisa dilakukan hanyalah surat menyurat dan/atau pesan dari mulut ke mulut. Surat-menyurat antara dua remaja menginjak dewasa ini masih berlanjut walaupun Ichwan sudah berada di Bandung untuk meneruskan cita-citanya. Hanya saja intensitasnya  jauh lebih berkurang, karena jauhnya jarak sehingga sampainya surat dari Bandung ke Palembang memakan waktu yang lama, begitu juga sebaliknya. Faktor kesibukan Ichwan dalam belajar juga ikut mempengaruhi berkurangnya intensitas komunikasi mereka via surat menyurat. Keadaan semakin tidak menguntungkan ketika pemberontakan Gestapu pecah pada tahun 1965. Semua surat disensor oleh aparat, bahkan banyak surat-surat lewat pos yang tidak sampai pada tujuan, hilang begitu saja. Praktis Ichwan dan sang kekasih yang selama berpisah hanya bisa komunikasi lewat surat menyurat, menjadi semakin jarang dan akhirnya terputus sama sekali. Dalam penantiannya, sempat timbul berbagai pertanyaan dalam hati Ichwan: mengapa suratnya tidak dibalas, apakah karena tidak sampai ke tangan “si dia”, ataukah memang sudah bisa melupakannya atau mungkin sengaja tidak mau lagi berkirimsurat kapadanya karana sudah mandapatkan pangganti dirinya, dan barbagai partanyaan lainnya. Namun damikian bukan Ichwan namanya jika ia larut dalam suasana dan pamikiran-pamikiran yang tidak panting. Tidak mungkin suasana dan pamikiran saparti itu dapat manggeser apalagi manggantikan apa yang saharusnya mandapat parhatian utamanya. Karena kesibukan dan konsentrasi balajarnya, tidak sulit bagi Ichwan untuk betul-betul dapat malupakan dan mangusir jauh-jauh pamikiran yang dapat mengurangi tekad bulatnya untuk dapat menyelesaikan studinya secepat mungkin. Dan cinta mereka akhirnya kandas karena korban paristiwa Gestapu.(bersambung)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: