Hari Anak Nasional dan Tantangan Kendali Stunting

Hari Anak Nasional dan Tantangan Kendali Stunting

Ilustrasi - Empat siswa Sekolah Dasar berjalan bersama sepulang sekolah di Kampung Hedam, Kec. Heram, Kota Jayapura, Papua. -(FOTO ANTARA/Anang Budiono/Koz/Spt).-

BENGKULUEKSPRESS.COM - Permasalahan tengkes atau stunting menjadi salah satu topik penting yang menghinggapi peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2023 di Indonesia, sebab kasus itu memiliki dampak ganda pada gangguan kecerdasan dan ancaman serius bagi kesehatan anak.

Stunting bukan hanya menyangkut urusan tinggi badan, tetapi pengaruh yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, hingga munculnya sejumlah penyakit kronis yang membayangi masa depan anak.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI melaporkan terdapat sekitar 400 ribu bayi lahir stunting dari 1,6 juta kelahiran hidup setiap tahun di Indonesia, atau setara dengan laju kasus mencapai 24,4 persen di 2021.

Presiden RI Joko Widodo menginginkan laju kasus stunting bisa ditekan hingga 14 persen pada 2024 lewat kolaborasi yang dibangun antarpemangku kepentingan bersama masyarakat.

Angka stunting yang berhasil dideteksi saat ini merupakan modal penting yang perlu segera diintervensi agar kelak tidak mengganjal capaian Generasi Emas di 2045, di mana kelompok anak yang ada sekarang menjadi penentu bonus demografi di usianya yang sudah produktif.

Pemerintah memperkirakan, dalam 22 tahun ke depan, sebanyak 70 persen populasi Indonesia berada di usia produktif pada rentang 15--64 tahun, sedangkan 30 persen sisanya memasuki kategori yang tidak produktif dengan usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun.

Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, akan membawa dampak buruk, terutama masalah sosial, seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Tantangan

SSGI terbaru yang dirilis Kementerian Kesehatan pada awal 2023 memotret prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di 2021 menjadi 21,6 persen di 2022.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKM-UI) Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut upaya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia termasuk capaian baik jika dibandingkan dengan laju penurunan prevalensi stunting sejumlah negara di dunia dalam satu dekade terakhir, dengan rata-rata di atas 1 persen.

Target menurunkan laju stunting mencapai 14 persen kurang dari setahun ke depan, menjadi beban berat untuk dicapai, sebab dihadapkan pada intervensi persoalan yang kompleks, mulai dari masa remaja sampai kehamilan melalui pemberian tablet penambah darah, fase melahirkan melalui skrining kesehatan, hingga menjamin asupan gizi seimbang dan kaya protein hewani di tahun-tahun pertama kehidupan anak.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa persoalan terberat menurunkan laju stunting adalah menjamin asupan pangan berprotein hewani sampai ke dalam mulut balita, yang selama ini belum tersentuh oleh pengawasan pemerintah pusat.

Tak jarang juga intervensi yang dilakukan pemerintah keliru. Contohnya pada pemanfaatan alokasi anggaran stunting yang diserap untuk membangun pagar puskesmas, hingga lebih banyak kegiatan rapat koordinasi daripada eksekusi program di lapangan.

Berdasarkan laporan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, hanya Rp34 triliun dari total Rp77 triliun alokasi dana penanganan stunting yang diserap tepat sasaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: