Kecerdasan Emosional Pembicara Publik
Lisa Adhrianti-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-
Oleh : Lisa Adhrianti
Saat ini dalam arus transformasi teknologi komunikasi yang menggulung keseharian manusia, semakin banyak peran pengganti yang dihadirkan dalam bentuk kecerdasan buatan/AI (Artificial Inteligent) yang terbukti mampu menyamai kemampuan gerak maupun pikir manusia. Proses pemecahan masalah yang terkait dengan pembelajaran, pengenalan pola dan aspek kognitif lainnya yang merujuk kepada tolak ukur kecerdasan intelektual tersebut, dengan mudah dapat tergantikan setelah sebelumnya kita didoktrin untuk lebih mengutamakan pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) di setiap jenjang usia kehidupan dan berbagai jenis profesi bidang pekerjaan.
Pengembangan AI menunjukkan bahwa kecerdasan intelegensia dapat diciptakan untuk mengalahkan kecerdasan manusia, sehingga di 20 tahun terakhir kita disuguhkan pada konsep kecerdasan emosional (EQ) sebagai alternatif untuk mengembangkan keterampilan berpikir yang dapat mendukung bahkan dianggap lebih penting dari kecerdasan intelektual. Mengapa penting? Karena ternyata aspek emosional lebih berperan untuk dapat mendukung individu menjadi seorang yang memiliki intuisi dan kemampuan untuk dapat beradaptasi dimanapun berada serta memberikan hasil kerja yang berkualitas baik.
Termasuk bagi seorang pembicara publik (Public Speaker) yang bertanggung jawab untuk memberikan informasi kepada publik dalam suatu kesempatan khusus yang mungkin saja tidak bisa terjadi berulang-ulang kali untuk publik yang sama. Informasi atau pesan yang disampaikan tentu haruslah dapat dikemas, disajikan dan disampaikan dengan baik, berkualitas serta menyenangkan sehingga menimbulkan kesan mendalam dan mampu mempersuasi publik sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pembicara dan penyelenggara acara.
BACA JUGA:OPINI: Jurnalisme Otomatis dan Masa Depan Media Berita
Kita tentu kerap mendengar bahwa pada kesempatan A materi disampaikan dengan sangat membosankan, peserta banyak mengantuk, sibuk sendiri dengan gadgetnya atau bahkan pembicara terkesan tidak menjiwai dan tidak mampu berinteraksi dengan baik kepada audiens atau peserta dalam sebuah event/acara padahal pembicara telah dianggap sebagai sosok yang kompeten dan ditunjang oleh latar belakang keilmuan yang mumpuni di bidangnya. Di sisi lain, kita juga kerap mendengar bahwa audiens begitu menikmati jika pembicara B sedang beraksi, meskipun tidak ditunjang oleh latar belakang keilmuan yang “wah” namun dia dapat menyatu bersama audiens, menciptakan hiburan yang menyenangkan dan membuat audiens teringat pesan yang disampaikan, terkesan dengan pembawaannya serta menunggu-nunggu waktu untuk dapat kembali bertemu dengan pembicara tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, kita disadarkan bahwa bukan hanya kecerdasan intelegensia yang dibutuhkan oleh seorang pembicara publik. Lebih dari itu kecerdasan emosional memainkan peran penting bagi kesuksesan pembicara publik.
Kondisi acara, suasana panggung serta venue (ruangan/lokasi) acara adalah hal pertama yang harus diperhatikan seorang pembicara publik sebelum memulai pembicaraannya di hadapan audiens karena hal tersebut mampu membangkitkan kesan emosional seorang pembicara. Ketika seorang pembicara publik belum dapat membayangkan kondisi acaranya, kemudian harus menghadapi situasi yang diluar dugaan atau ekpektasinya, maka dapat dipastikan bahwa yang mampu menolong dirinya hanyalah kecerdasan emosionalnya. Bagaimana dia dapat mengontrol emosinya dan mengelola kepanikannya sehingga tidak memancarkan energi negative bagi publik/audiens yang ada dalam kegiatan tersebut.
Bagi Goleman dalam tulisannya di buku yang berjudul “Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ” kecerdasan emosional memberikan kontribusi besar untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Setiap orang tentu mempunyai kemampuan emosional yang berbeda. Beberapa orang mempunyai kecerdasan emosional yang cukup baik, sementara ada yang menghadapi kesulitan untuk membangun kecerdasan emosional yang seimbang.
Pembicara publik idealnya harus memiliki kecerdasan emosional yang baik. Hal ini dapat dibangun dari keinginan untuk dapat memotivasi diri sendiri dan ditunjang oleh kemampuan menciptakan pengalaman berbicara hingga mencapai minimal 10.000 jam terbang. Dengan kecerdasan emosional yang baik, seorang pembicara publik akan dapat memenangkan kesan pertama di 7 detik pertama pada saat orang melihatnya. Penampilan, sikap tubuh, mimik wajah, cara berjalan, duduk, dan menyapa audiens akan dapat membuka lebar peluang kesuksesan bagi seorang pembicara hingga akhir penyampaiannya dan sebaliknya, ketika pembicara publik tidak memiliki kemampuan untuk mengelola kecerdasan emosionalnya dengan baik, maka dapat dipastikan audiens sudah tidak tertarik memperhatikannya dari sejak awal memandangnya.
Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman bagi seorang pembicara publik agar mampu memiliki dan mengembangkan kecerdasan emosional yang mendekati ideal, yakni :
1) Self-awareness: Seorang pembicara publik harus dapat mengenali karakter spesifik dirinya sendiri dengan baik, apa yang menjadi kekuatan dan kelemahannya ketika berhadapan dengan audiens? apakah kekuatannya ada pada kemampuannya tersenyum menawan dan menyapa audiens dengan lembut dan riang menyenangkan? apakah terletak pada paras dan penampilannya yang pasti memukau karena berbeda dari pembicara lainnya? apakah pada kemampuannya untuk menghibur dengan memberikan sapaan lelucon, pantun, nyanyian yang diyakini dapat membuat audiens senang dan kagum? bahkan apakah pembicara memiliki kelemahan untuk cepat panik dalam lokasi sempit dan ramai, atau gugup ketika mengetahui system suara dalam acara tersebut tidak memadai?. Dalam aspek ini pembicara publik juga harus memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa audiens/publiknya sejak awal sebelum publik mendapatkan penyampaiannya;
(2) Self-regulation: Seorang pembicara publik harus mampu menggunakan kemampuan emosional untuk mengatur emosi yang akan memunculkan reaksi atau perilaku tertentu terhadap audiens ketika harus menghadapi reaksi atau respon yang tidak diharapkan, misalnya : audiens yang gaduh/ribut, kritik yang disampaikan, suara atau teriakan ejekan, pertanyaan yang memojokkan. Seorang pembicara publik sangat tidak dianjurkan untuk terpancing secara emosional dengan hal tersebut dan tetap harus menghadapi serta menanggapinya secara santun dan beretika;
3) Internal motivation: Aspek ini merupakan kemampuan dalam diri seorang pembicara publik untuk dapat mencapai target dari tujuan penyampaiannya. Seorang pembicara publik harus mampu mengambil keputusan sebagai bentuk optimisme dalam uraian kesimpulan yang meyakinkan, mampu memancing rasa penasaran audiens dan keinginan untuk mencapai sesuatu dalam bentuk diskusi dengan pertanyaan dan jawaban yang benar serta berkualitas;
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: