Tahu dan Tempe Mogok Produksi

Tahu dan Tempe  Mogok Produksi

RATU SAMBAN, BE - Aksi mogok produksi tahu dan tempe memang sudah menjadi isu nasional. Dan terjadi hampir diseluruh daerah, aksi mogok itupun dilakukan Pengrajin dan Pedagang Tahu dan Tempe (PPTT) di Kota Bengkulu. Terhitung sejak kemarin, PPTT menggelar aksi mogok memproduksi tahu dan tempe. Akibatnya penjualan tahu dan tempe di pasaran menghilang. Apalagi aksi mogok juga disertai dengan aksi sweeping terhadap pedagang di Pasar Panorama dan Pasar Minggu Modern. Aksi tersebut dilandaskan rasa solidaritas antara produsen dan pedagang terkait harga kedelai yang melambung akhir-akhir ini. Mogok produksi itu akan berlangsung selama dua hari dari tanggal 30-31 juli, putusan aksi mogok itu berdasakan kesepakatan hasil musyawarah tanggal 27 Juli 2012 lalu yang dihadiri 127 pengrajin tahu dan tempe. Rapat itu digelar di kediaman Ketua Pengrajin dan Pedagangan Tahu Tempe, Budi Suiono di Gang Nangka 1 Rt. 3 No. 38 Kelurahan Panorama. Mulai pagi kemarin PPTT juga telah melakukan sweeping terhadap para pedagang tahu dan tempe di pasaran. Tujuanya untuk melihat apakah tahu dan tempe masih beredar di pasaran. Tim sweeping merupakan anggota dan pedagang tahu dan temp. Aksi ini juga sebagai aksi mogok produksi secara nasional. Dengan aksi seperti ini, Budi Sutiono berharap pemerintah dapat segera menormalkan harga kedelai, dikhawatirkan jika harga tahu tempe kami naikkan tidak ada yang mau membelinya. Diakui Budi, melonjaknnya harga kedelai akhir- akhir ini sangat menyulitkan bagi pengrajin tahu tempe sehingga mempengaruhi pasokan kebutuhan tahu tempe di pasaran. Sementara itu, Kadisperindag Kota Bengkulu, Shafwan Ibrahim, SH melalui Kabid Perindustrian, Zakwan Amin, BSc mengakui telah mendengar aksi mogok dan sweeping pedagang tahu dan tempe. Hal ini karena harga kedelai meningkat secara signifikan sejak bulan Januari 2012 dari Rp 6.000 kemudian naik menjadi Rp 7000 dan saat ini harga kedelai Rp 8.200 per kilogram. Kenaikan harga itu mencapai Rp 2.200/kg atau sekitar 36 persen/kg. Tingginya biaya produksi itu makanya PPTT tidak dapat lagi menyesuaikan harga pasar yang wajar, PPTT juga kekawatiran akan turunnya daya beli konsumen hingga menyebabkan omset menurun. (247)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: