Misteri Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi

Misteri Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi

Kebanyakan orang beranggapan santet digunakan untuk membuat orang menderita hingga mati. -Bengkulu Ekspress-Istimewa

BENGKULUEKSPRESS. COM - Pada Februari 1998, masyarakat Banyuwangi geger . Orang yang dipercaya mempunyai ilmu santet jadi sasaran oleh kelompok tidak dikenal. Pembantaian dukun santet di Banyuwangi adalah peristiwa kelam masa lalu.

Akibat tragedi berdarah tersebut, Kota Banyuwangi pun kerap disandingkan dengan aktivitas santet. Pelanggaran HAM berat ini terjadi di masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998. 

 

Orang-orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet menjadi target utama dalam pembantaian tersebut. Sebenarnya, warga Banyuwangi memang sudah familiar dengan keberadaan dukun santet. Salah satu masyarakat asli Banyuwangi, misalnya, Suku Osing, mempercayai dukun untuk mengobati penyakit, media pembalasan dendam, hingga soal keturunan.  

BACA JUGA:Ajian Waringan Sungsang , Diciptakan Sunan Kalijaga untuk Kalahkan Ilmu Santet!

Dari hasil tim pencari fakta kasus pembantaian dukun santet oleh Nahdatul Ulama (NU), mereka menyimpulkan bahwa pelaku merupakan orang-orang yang terlatih. Pembantaian tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir. 

Temuan ini didasari pada hasil temuan proses eksekusi korban selalu dilakukan di malam hari, ketika mati lampu. Saat listrik kembali menyala, korban pun sudah ditemukan tewas hampir di seluruh area.

Pelaku disebut menggunakan baju serba hitam dalam melancarkan aksinya. Masyarakat pun sering menyebutnya sebagai 'ninja'. Bahkan, dalam menjalankan operasi pembantaian tersebut, pelaku juga memanfaatkan handy-talky untuk memastikan rencana mereka dapat berhasil. 

BACA JUGA:Praktik Sihir Diprediksi Sejak Era Nabi Musa AS

Penyerangan membabi buta itu membuat warga di Banyuwangi pada saat itu merasa tidak aman bahkan di rumahnya sendiri. Berdasarkan jurnal The 1998 Banyuwangi Humanitarian Case (In Socio-Economic Studies) yang ditulis oleh Swastika dan Jamil, warga akan menutup rapat jendela dan pintu saat matahari tenggelam. Siskamling pun diwajibkan bagi laki-laki ketika malam hari tiba. 

Meski begitu, ketakutan terus menghantui masyarakat, saat bangun di pagi hari mereka khawatir rumahnya ditandai dengan gambar tengkorak berwarna merah. Jika itu ada di depan rumah mereka, otomatis akan menjadi target pembunuhan selanjutnya.

Dalam jurnal Ham dan Politik Kriminal Pasca Orde Baru (Konstruksi Pelanggaran HAM pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi Tahun 1998) yang ditulis oleh Juang, dkk., menyebut camat Purwoharjo, Banyuwangi yang waktu itu menjabat yakin ada keterlibatan aparat kepolisian. 

BACA JUGA:Ini Dia Awalan Nama Jawa Khas Tempo Dulu yang Nyaris Punah!

Namun, tuduhan tersebut ditepis langsung oleh Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur saat itu. Ia menegaskan tak ada muatan politis di balik pembunuhan massal tersebut. Kepolisian saat itu menganggap peristiwa ini merupakan kasus kriminalitas murni. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: