MENGAPA 17 MARET
Catatan Zacky Antony HARI INI Kota Bengkulu tepat berusia 303 tahun (17 Maret 1719-17 Maret 2022). Jauh lebih tua dari usia Provinsi Bengkulu yang baru berumur 54 tahun pada 18 November 2022 nanti. Dibanding kota-kota lain di Sumatera, usia Kota Bengkulu boleh dibilang relatif lebih muda. Jangan dibandingkan dengan Kota Palembang misalnya, yang pada tahun ini sudah berusia 1.337 tahun. Hitungan tersebut didasarkan pada catatan prasasti kedukan bukit tertanggal 16 Juni 683 M. Umur setua itu menjadikan Kota Palembang menjadi kota tertua di Indonesia. Lebih tua dari Jakarta yang tahun ini baru berusia 495 tahun. Dibanding kota-kota lainnya, Kota Bengkulu juga lebih muda. Kota Jambi, misalnya, tahun ini berulang tahun ke-621. Kota Medan berulang tahun ke-432 dan Kota Padang memasuki usia ke-353 tahun. Hanya Kota Pekanbaru yang usianya lebih muda dari Kota Bengkulu. Tahun ini, Kota Pekanbaru berusia 238 tahun. Secara umum, sejarah pemerintahan di Bengkulu bisa dibagi dalam empat masa. Pertama, pemerintahan kompeni Inggris (EIC) berkuasa selama 139 tahun di Bengkulu (1685-1824). Kedua, pemerintahan Kompeni Belanda (VOC) selama 118 tahun (1824-1942). Ketiga, pemerintahan Jepang (1942-1945). Keempat, masa kemerdekaan (1942 s.d sekarang). Inggris memang bercokol lebih lama di Bengkulu ketimbang Belanda. Karena itu, tidak heran kalau Inggris menyisakan peninggalan lebih banyak ketimbang Belanda. Selain Benteng Marlborough, ada Gedung Daerah atau Balai Raya Semarak. Bangunan tempat dulu Thomas Stamford Raffles berkantor itu sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Bengkulu. Peninggalan lain ada Tugu Thomas Parr yang berjarak sekitar 50 meter dari Benteng Marlborough. Bukti sahih lainnya, kalau kita pergi ke Kelurahan Jitra, di situ ada makam orang-orang Inggris. Mengapa 1719 yang harus menjadi tahun kelahiran Kota Bengkulu? Bukankah Inggris sudah masuk Bengkulu 34 tahun sebelum itu. Inggris pertama kali berlabuh di Bengkulu pada 24 Juni 1685. Bila sejarah dirunut jauh ke belakang, memang tidak mudah menemukan titik awalnya. Sebab, sejarah Bengkulu minim bukti-bukti sejarah berupa prasasti atau catatan sejarah lainnya. Berbeda misalnya, dengan penghitungan hari jadi Kota Palembang. Orang boleh setuju atau tidak setuju, tapi prasasati Kedukan Bukit tercatat tanggal 16 Juni 1683 M sebagai bukti Palembang sudah ada. Boleh jadi, Palembang sudah ada jauh sebelum prasasti itu dibuat, tapi sejarah tetap harus punya bukti otentik sebagai tolok ukur untuk menghitung umur sebuah kota. Bagaimana dengan Bengkulu? Bengkulu tidak ditemukan prasasti untuk membuktikan tahun berapa Bengkulu mulai dibangun atau didirikan. Kalau dihitung tahun 1685 sebagai hari lahir Bengkulu, kurang tepat juga. Pertama, pada tahun itu wilayah Bengkulu masih dikuasai kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Lemau dan Kerajaan Sungai Itam. Orang luar Bengkulu, dalam hal ini Kerajaan Banten, lebih mengenal dengan sebutan Selebar dan Sungai Lemau ketimbang Bengkulu. Wilayah Bengkulu saat itu memang berada di bawah pengaruh Banten. Sebutan Bengkulu belum ada. Penguasa Banten menyebut wilayah Bengkulu sekarang dengan sebutan Selebar atau Sungai Lemau. _“Apabila ada perahu dagang memuat merica di Pelabuhan Selebar dan membayar pajak kepada negeri lain, rampaslah segala perniagaannya. Dan rampasan itu harus dibagi dua. Sebagian persembahkan kepada Banten dan sebagian lagi diberikan kepada pedagang itu.”_ demikian bunyi perintah Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dalam Piagam 1668. Dokumen tersebut menegaskan setidaknya sampai 1668, orang luar Bengkulu mengenal Selebar. Bukan Bengkulu. Namun kedatangan Inggris menjadi pembuka lahirnya sebuah kota baru yang sekarang bernama Kota Bengkulu. Berdasarkan perjanjian 12 Juli 1685, Inggris mendapat izin bermukim di lokasi yang sekarang bernama Pasar Bengkulu. Inggris lalu membangun Fort York. Tapi tidak ada catatan otentik, kapan istilah Bengkulu mulai muncul. Dalam dokumen-dokumen perjanjian masa-masa awal kehadiran Inggris, sebutan yang muncul adalah Kerajaan Sungai Lemau. Perjanian 12 Juli 1685, misalnya, pihak Inggris diwakili Ralp Ord mewakili pemerintah Fort St George yang berkedudukan di Madras, India. Sedangkan dari pihak pribumi diwakili Pangeran Raja Muda dari Kerjaaan Sungai Lemau. Pada tahun yang sama diadakan juga perjanjian dagang antara Inggris dengan Raja Sungai Itam yaitu Depati Bangsa Raja. Kedua perjanjian itu memberikan hak tunggal kepada Inggris untuk membeli lada. Tiga bulan setelah Inggris menetap, perdagangan semakin ramai dan maju pesat. Rumah dan toko-toko didirikan di sekitar perkampungan Inggris. Bandar kecil di muara Sungai Bengkulu kemudian berubah menjadi besar dan menjelma menjadi kota kecil. Pada 1 Juli 1691, wakil Gubernur Inggris, Charles Barwell mengundang para penguasa Bengkulu masing-masing Raja Sungai Lemau yaitu Pangeran Raja Muda, Raja Sungai Itam yaitu Chalipa dan Raja Selebar yaitu Pangeran Nata Di Raja untuk bermusyawarah di Fort York. Mereka disambut dengan kebesaran dan jamuan makan besar dengan memotong dua ekor kerbau. Disambut pula dengan barisan kehormatan, pukulan tambur dan letusan meriam. Inggris memperluas pengaruh untuk perdagangan dengan membuka pos di Ketahun dan Seblat (1697), Bantal (1700) dan di Seluma (1706). Sampai suatu saat, Inggris menyusun rencana jahat ingin membunuh Raja Selebar yakni Depati Bangsa Radin yang bergelar Pangeran Nata Di Raja. Inggris tidak senang Pangeran Nata Di Raja karena masih bersikap baik kepada Belanda. Lalu terjadilah kisah mirip apa yang menimpa Pangeran Diponegoro. Pangeran Nata Di Raja diundang ke Fort York oleh Wakil Gubernur Anthony Ettricke pada 4 November 1710. Sesampai di Fort York, Pangeran Nata Di Raja ditangkap dan dibunuh oleh Inggris. Dia dituduh tidak memenuhi perjanjian yakni menyediakan hasil lada. Saudaranya dipenjara di Fort York. Inggris kemudian menunjuk Pangeran Intan Ali sebagai Raja Selebar yang baru. Padahal secara adat, mestinya putra dari mendiang Pangera Nata Di Raja adalah penerus tahta. Sehingga suasana Kerajaan Selebar yang tadinya rukun, mulai terpecah belah. Tapi di sinilah terjadi titik balik. Pembunuhan terhadap Pangeran Nata Di Raja mengundang kebencian dan amarah rakyat Selebar. Terlebih Inggris mulai menunjukkan sikap aslinya. Para kepala adat diperlakukan kasar. Inggris mulai mencampuri urusan kerajaan. Dan klimaksnya membuat rakyat muak, Inggris memaksa rakyat bertanam lada sekaligus menentukan harganya. Situasi ini memperburuk hubungan antara rakyat Bengkulu dengan Inggris. Gejala-gejala pemberontakan mulai muncul. Keadaan tegang. Untuk memulihkan suasana, diutuslah Wakil Gubernur Joseph Collet ke Bengkulu pada 23 Juli 1712. Dia mencoba memperbaiki hubungan dengan rakyat Bengkulu dengan sikap lebih lunak. Pada 1712, bandar pelabuhan di Bengkulu sudah berkembang maju. Perkampungan rumah orang Melayu sudah berdiri hingga 700-800 rumah yang berdiri berdampingan di depan Fort York. Di tepi pantai terdapat permukiman orang-orang negro yang dibawa dari Madagaskar dan dipekerjakan sebagai buruh kasar. Pada 1714, Inggris mulai membangun benteng baru yang lebih besar dan kokoh dan strategis di atas bukit kecil di pantai Tapak Paderi. Pembangunan benteng dilakukan bertahap selama lima tahun. Benteng baru ini diberi nama Fort Malborough sebagai kenangan kepada seorang komandan militer Inggris yang terkenal The First Duke of Marlborough (1650-1722). Di sekitar benteng baru itu dipersiapkanlah sebuah kota yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kota Bengkulu. Kota baru ini sudah dirintis sejak 1714. Di kota ini mulai dibuka pusat perdagangan yang oleh rakyat Bengkulu disebut Pasar Malabero. Kota kecil ini semakin maju dengan keberadaan Fort Marlborough yang merupakan benteng Inggris terbesar di Asia Tenggara ketika itu. Di situ tersimpan persenjataan militer. Meriam-meriam, gudang mesiu, kamar-kamar serdadu, ruang tahanan, perbekalan dan logistik lainnya. Moncong meriam mengarah ke Samudera Hindia dan ke segenap penjuru. Benteng ini memang dibuat dengan konstruksi sebagai benteng pertahanan Inggris di kawasan barat Sumatera dari ancaman Belanda dan ancaman pemberontakan rakyat Bengkulu sendiri. Antara tahun 1714-1716, kota kecil ini terus berkembang. Pada 23 Juli 1716, pemerintahan Joseph Collet di Bengkulu berakhir. Pengganti Collet bersikap seperti penguasa Inggris sebelumnya. Kasar dan keji kepada rakyat. Ketegangan muncul lagi. Rakyat mulai menyusun gerakan perlawanan untuk mengusir Inggris. Termasuk menurunkan Pangeran Mangku Raja dari Sungai Lemau dan Pangeran Intan Ali dari Selebar yang dianggap boneka Inggris. Kemarahan rakyat yang sudah muncul sejak pembunuhan terhadap Pangeran Nata Di Raja akhirnya tidak terbendung lagi. Pada suatu malam tanggal tanggal 17 Maret 1719, satu pasukan berkekuatan 80 orang dari suku Lembak menyerbu Fort Marlborough. Serangan ini dibantu para pengikut ulama besar Said Ibrahim. Terjadilah momen heroik itu. Dengan semangat perlawanan yang gigih, kerelaan berkorban untuk membela dan mempertahankan tanah air dan disertai kebencian mendalam atas pembunuhan keji terhadap Pangeran Nata Di Raja (Raja Selebar), rakyat Bengkulu berhasil menyerbu masuk Fort Marlborough. Membakar habis kantor dagang beserta isinya. Pasukan Inggris terpaksa lari kocar-kacir melarikan diri menuju kapal. Mereka meninggalkan Bengkulu menuju Batavia kemudian terus ke Madras. Keberhasilan mengusir Inggris adalah kemenangan hebat rakyat Bengkulu. Inilah lambang bersatunya rakyat. Penjajah memang hanya bisa dilawan dengan persatuan. Tanggal kemenangan gilang gemilang tersebut diperingati sebagai hari jadi Kota Bengkulu karena dianggap sebagai simbol persatuan penduduk Kota Bengkulu. Inggris sendiri setelah kekalahan itu, tidak lagi masuk Bengkulu. Setelah hampir dua tahun berikutnya, Inggris baru mendapat izin lagi dari raja-raja untuk masuk Bengkulu dengan alasan pertimbangan untuk mengimbangi dominasi Kompeni Belanda (VOC). Muncul perdebatan, ada referensi yang menyebut penyerbuan itu dilakukan pada 23 Maret, bukan 17 Maret seperti diperingati sampai saat ini. Di dalam buku Sejarah Bengkulu karya Abdullah Siddik, terdapat dua versi. Pada paragraph pertama halaman 47, penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough itu disebut terjadi pada malam tanggal 23 Maret. Tapi pada alinea berikutnya disebut 17 Maret. Tapi okelah. Tidak begitu penting apakah 23 Maret atau 17 Maret. Yang penting pesan pokoknya adalah 17 Maret 1719 adalah hari kemenangan heroik rakyat Bengkulu mengusir penjajah Inggris. Dirgahayu Kota Bengkulu ke-303. Bengkulu 17 Maret 2022 *Penulis adalah wartawan senior tinggal di Bengkulu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: