Menolak Pulau Enggano jadi Pulau Sawit

Menolak Pulau Enggano jadi Pulau Sawit

\"\" BENGKULU, BE - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Provinsi Bengkulu mengutuk keras rencana perkebunan sawit skala besar di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara (BU). Selain berpotensi bisa merusak ekosistem kawasan, kehadiran komoditas itu juga akan membuat wilayah masyarakat adat akan semakin tergerus. \"Kita menolak keras, Jangan ubah Pulau Enggano jadi pulau sawit,\" tegas Ketua Dewan AMAN Wilayah Bengkulu Rafli Zen Kaitora, kemarin (8/2). Menurut pria yang juga Kepala Suku Kaitora Enggano ini, kabar tentang rencana pembukaan perkebunan sawit skala besar telah beredar di masyarakat. Bahkan telah ada aktivitas berupa pertemuan antara warga dan pihak perusahaan yang hendak berinvestasi. \"Dari data yang kita dapat, usulan pembukaan perkebunan sawit itu rencana akan mencaplok lahan di Pulau Enggano hingga seluas 15 ribu hektare atau hampir setengah kawasan pulau Enggano yang cuma memiliki luas 39 ribu hektare. Dengan hal itu, warga adat di Enggano kini makin resah,\" kata Rafli. Rafli menyebut, empat tahun lalu. seluruh kepala suku di Enggano telah membuat keputusan bersama untuk menolak munculnya perkebunan sawit di Pulau Enggano dengan menggelar deklarasi penolakan tersebut. \"Tahun 2017 yang lalu. Seluruh kepala suku, ketua lembaga adat, camat dan BKSDA, ikut menandatangani deklarasinya diatas kertas hitam diatas putih yang disertai materai,\" kata Rafli Zen. Ia menyebutkan, keputusan bersama yang berjudul Deklarasi Pelestarian dan Penyelamatan Pulau Enggano itu sengaja dicetuskan sebagai tindak lanjut dari Keputusan Kepala Suku Masyarakat Adat Pulau Enggano dengan Nomor: 02/KPS/Ka.S/E/2009 tentang Pengolahan Sumber Daya Alam, Satwa, dan Hewan serta Pembukaan Lahan, Pengelola an dan Pelestarian Kawasan Pesisir Pulau Enggano dalam upaya penyelamatan Pulau Enggano dari ancaman abrasi tentunya. \"Dalam putusan itu, masyarakat adat Enggano menolak dengan tegas penanaman kelapa sawit di Pulau Enggano. Baik itu di wilayah Areal Peruntukan Lain (APL) ataupun areal masyarakat yang masih berhutan. Dan warga sepakat untuk melakukan penyelamatan SDA dan ekosistem Pulau Enggano,\" tambah Rafli. Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Wilayah Bengkulu, Deftri Hardianto menyebutkan bahwa penolakan masyarakat yang mendiami Pulau Enggano itu seharusnya segara direspons oleh pemerintah daerah dengan cara mempercepat proses Perda Adat. Sebab, sebagai yang memiliki hak atas wilayah adatnya. Penolakan masyarakat adat Enggano itu telah memiliki kajian kearifan dan mengedepankan kehidupan masyarakat. \"Bengkulu mestinya bangga dengan keunikan dan kekhasan serta kekayaan Pulau Enggano. Suara rakyat jauh lebih penting, ketimbang dengan rencana investasi yang sementara itu,\" kata Deftri. Terkait hal itu, Deftri mengingatkan kepada pemerintah daerah. Bahwa saat ini sedang bergulir rencana pembuatan peraturan daerah mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Enggano di Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara. Perda inilah, sambung Deftri, yang akan menjadi payung pelindung keberadaan masyarakat adat termasuk rencana investasi di Pulau Enggano. \"Perda ini menjadi penting untuk melindungi hak masyarakat adat Enggano. Termasuk juga untuk kepastian investasi,\" demikian kata Deftri. (529/rls)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: