DERITA SANTRIWATI : KELOMPOK YANG TERBUNGKAM

DERITA SANTRIWATI : KELOMPOK YANG TERBUNGKAM

 

\"\" Oleh : Ariza Diansari, S.I.Kom (Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu)

Pemberitaan di media massa mengenai belasan santri perempuan yang menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru berinisial HW, sungguh mengejutkan masyarakat. HW yang merupakan pemilik sekaligus pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung dituduh telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur dan diduga melanggar pasal 81 ayat 1 dan 3 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.  Kasus ini pertama kali dilaporkan salah satu keluarga korban kepada Polda Jabar Mei lalu namun baru diketahui publik ketika sidang ketujuh telah digelar dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung, pada 07 Desember 2021. Para santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual HW sejak 2016 hingga 2021 berusia 13 sampai dengan 16 tahun dan diantara para korban tersebut  telah ada yang melahirkan anak.  Kelompok yang Terbungkam Sebagaimana dikutip dari situs  liputan6.com, Teddy Hidayat selaku Dokter Spesialis Kejiwaan RS Melinda 2 Bandung mengatakan bahwa kekerasan seksual pada anak seperti fenomena gunung es, dimana banyak terjadi di masyarakat namun tersembunyi. Teddy berpendapat bahwa para korban yang masih anak-anak mudah untuk dipengaruhi dan pelaku juga melakukan upaya intimidasi dan sugesti dengan cara membisikkan perkataan “murid harus taat pada guru” di telinga korban secara terus-menerus. Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut Diah Kurniasari Gunawan sebagaimana dikutip dari www.kompas.com, anak-anak yang menjadi korban ini mengurus diri secara mandiri bersama-sama di rumah yang disediakan oleh HW. Mereka membagi tugas dari mulai memasak, mencuci dan menjaga anak. “Jadi di lingkungannya, saat ditanya bayi-bayinya anak siapa, mereka bilang anak yatim piatu yang dititipkan,” kata Diah.  Mengapa para korban ini bungkam atas peristiwa yang menimpa mereka bertahun-tahun lamanya?  Penulis berusaha melihat pembungkaman ini dari perspektif teori Kelompok Bungkam (Mute Group Theory) yang berasal dari karya seorang Antropolog Sosial yaitu Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Inti dari teori kelompok bungkam adalah anggota kelompok yang termarginalkan dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih. Pembungkaman terjadi dengan proses yang disebabkan karena adanya orang yang memiliki kekuasaan tertentu, sangat vokal, yang pada akhirnya menyebabkan kelompok yang berada di bawah akan jadi terbungkam. Dengan kata lain, teori kelompok bungkam ini menyimpulkan  bahwa tekanan-tekanan yang diberikan dari kelompok dominan kepada kelompok kecil (minoritas) akan menyebabkan terjadinya proses pembungkaman.  Teori kelompok bungkam fokus pada cara komunikasi kelompok dominan dalam menekan atau membungkam kata, ide, dan wacana dari kelompok kecil (minoritas). Perempuan maupun kelompok marjinal lainnya tidaklah sebebas laki-laki dalam menyampaikan ucapannya, kapanpun dan dimanapun mereka ingin berkata. Dari contoh kasus di atas, penulis melihat pembungkaman perempuan (para korban) karena adanya bahasa yang dikonstruksi oleh laki-laki (pelaku). Konstruksi bahasa oleh laki-laki hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan perempuan dalam masyarakat.  Para korban selaku kelompok minoritas memilih untuk bungkam karena pelaku selaku kelompok dominan terus mengintimidasi dengan bahasa atau perkataan bahwa murid haruslah taat pada guru. Ketika salah satu korban mencoba menyampaikan pendapatnya bahwa apa yang dilakukan pelaku adalah dosa, si pelaku langsung mendoktrin korban bahwa yang dia lakukan tidaklah berdosa dan sudah seharusnya murid itu patuh dan taat kepada gurunya. Kalimat-kalimat rayuan pelaku itu tertuang dalam berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jabar. Dalam dakwaan tersebut, pelaku selalu menekankan kepada para korban agar tidak melawan. Pelaku juga meyakinkan korban bahwa apa yang dilakukannya tidak akan menghancurkan masa depan dan pelaku juga memposisikan dirinya sebagai orangtua dari para korbannya. Untuk lebih meyakinkan para korbannya, pelaku menjanjikan mereka untuk menjadi polwan atau pengurus pesantren. Para korban adalah anak-anak yang benar-benar lugu. Oleh karena itu, pelaku mudah memperdaya mereka dengan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan apa yang dilakukan pelaku pada korban.   Pada akhirnya teori kelompok bungkam ini menggambarkan seolah-olah perempuan adalah mahluk yang lemah dan tidak berdaya sehingga dijadikan objek bagi laki-laki. Hal itu dapat dilihat dari ketidakberdayaan para korban yang sejatinya mereka tinggal bersama-sama dan melihat pelaku melakukan hal yang tidak sepantasnya terhadap mereka yang menjadi korban dan dilakukan secara berulang-ulang. Para santriwati ini merupakan kelompok perempuan yang dibungkam dan menunjukan ketidakmampuan mereka untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki (pelaku).

Fokus Pada Solusi Mengapa kasus ini baru terungkap di masyarakat ketika sidang ketujuh telah digelar? saya setuju dengan langkah pemerintah dan berbagai pihak yang terlibat untuk tidak memublikasikan kasus ini begitu terkuak di bulan Mei lalu. Pilihan tersebut menurut saya adalah satu langkah bijak untuk melindungi korban sembari proses hukum terhadap HW tetap berjalan. Menurut Asep Warlan Yusuf, seorang Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, masyarakat awam yang tidak paham akhirnya mulai menuding bahwa pemerintah sengaja menutupi kasus yang sudah diketahui dari bulan Mei lalu itu, padahal tujuan pemerintah untuk tidak memublikasikan adalah untuk melindungi korban karena dalam kasus asusila para korban harus menjadi saksi dalam persidangan. Senada dengan pendapat Asep, Atalia Praratya Ridwan Kamil selaku Bunda Forum Anak Daerah Provinsi Jawa Barat meminta agar semua pihak bisa mengawal persidangan kasus pemerkosaan santriwati agar pelaku dapat diberikan hukuman maksimal. Atalia juga menghimbau agar semua pihak termasuk Media tidak memublikasikan identitas santriwati yang menjadi korban pemerkosaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada para korban dan keluarganya. Bayi-bayi yang terlahir akibat kekerasan seksual ini juga harus diselamatkan oleh keluarga, karena keluarga merupakan inti perlindungan pada anak.  Karenanya, marilah kita semua fokus pada solusi dibandingkan mencari identitas korban, apa dan bagaimana perasaan korban dan keluarganya untuk dibagikan kepada masyarakat. Pemerintah dan pihak terkait dapat mendampingi dan memberikan trauma healing kepada para korban agar mereka bisa terlepas dari bayang-bayang kejadian tersebut. Kita sebagai warga masyarakat hendaklah lebih peduli dan mengawasi hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitar kita dan pihak yang senantiasa berdampingan dengan anak seperti orangtua, pengasuh, guru dan lingkungan sekolah harus mengenal dan mampu mendeteksi kekerasan seksual pada anak agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Untuk media massa, marilah slogan bad news is a good news dienyahkan terlebih dahulu dan gunakan empati kepada sesama. Ekspose pelaku boleh kita lakukan namun tidak kepada korban dan yang menjadi catatan paling penting korban harus tetap mendapatkan haknya untuk sekolah. Sekolah tidak berhak menolak hanya karena mereka pernah menjadi korban pemerkosaan ataupun korban kekerasan seksual. Fokus pada solusi bukan karena kondisi. ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: