Mahasiswa Tak Perlu Meratapi Salah Jurusan

Mahasiswa Tak Perlu Meratapi Salah Jurusan

\"\"

Oleh: Iyud Dwi Mursito*

TIDAK kaget ketika membaca berita yang terbit di CNN Indonesia, Jumat (17/9/2021) tentang ahli observasi anak sekaligus penemu observasi bakat (talents observation) Andri Fajria, mengungkapkan latar belakang 87 persen mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Saya sendiri sering bertanya kepada mahasiswa terkait pilihan jurusan kuliahnya, rata-rata karena terpaksa. Sebab tidak diterima jurusan yang menjadi tujuan utama. Akhirnya, yang penting kuliah dan ambil jurusan yang bisa menampungnya. Salah jurusan sebenarnya bukan rahasia umum lagi. Banyak mahasiswa yang menyadari atau tidak menyadarinya. Ketika saya kuliah dulupun juga seperti itu. Tidak tahu, apakah jurusan kuliah saya ini sesuai atau tidak. Saya awalnya mendaftar di S1 Ilmu Komunikasi Unib, tidak keterima. Akhirnya, memutuskan pilihan ke Program Studi D3 Jurnalistik. Di sana, saya berkumpul dengan orang-orang yang merasa salah jurusan. Sebagian besar tidak tahu, jurnalistik itu ilmu apa, bidang apa, dan kalau lulus mau jadi apa. Akhirnya, proses kuliah hanya menjadi rutinitas saja. Masuk kelas, mendengarkan dosen, dan setelah itu pulang. Di era sekarang, mahasiswa tak perlu meratapi salah jurusan. Pada kenyataannya, semua jurusan sama, memiliki peluang dan tantangan masing-masing. Peluang kerja juga semakin terbuka, tidak membatasi jurusan tertentu. Untuk menjadi seorang banker, tidak harus lulusan sarjana ekonomi, tapi bisa saja sarjana hukum atau sarjana pendidikan. Bahkan, untuk menjadi seorang jurnalis, tak harus lulusan jurusan jurnalistik. Tapi, sudah banyak sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana pendidikan, dan lain-lainnya. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo, saat menghadiri pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mencontohkan sosok Budi Gunawan Sadikin, saat kuliah di ITB Fakultasnya Teknik Fisika Nuklir. Kemudian, kerjanya di bank. Meski tak sesuai dengan jurusan saat kuliah, tapi nyatanya juga bisa melesat sampai menduduki tangga paling puncak direktur utama Bank Mandiri. Hingga saat ini melompat karirnya menjadi Menteri Kesehatan. Ini bukti nyata, bahwa jurusan saat kuliah, tidak berbanding lurus terhadap karir masa depan. Mas Menteri Nadiem Makarim, pernah berbicara tentang mahasiswa salah jurusan. Selama ini memang banyak ditemukan para lulusan sarjana bekerja berbeda dengan bidang ilmu saat kuliah di kampus. Karena itu, penting sekali mahasiswa juga belajar di rumpun ilmu yang lainnya. Jangan hanya terpaku pada jurusan yang diambil. Ketika satu rumpun ilmu digabungkan dengan rumpun ilmu lainnya, biasanya akan melahirkan suatu karya yang unik dan inovatif. Apalagi, semua profesi saat ini, nyaris tidak hanya menggunakan satu rumpun ilmu. Hampir semua profesi di dunia nyata, membutuhkan kombinasi dari beberapa disiplin ilmu. Mahasiswa juga perlu menyadari, selesai kuliah di kampus, menyandang gelar sarjana, tidak serta merta menjamin kesuksesan. Masih butuh perjuangan yang panjang. Salah satunya, mengasah pengalaman.  Nasihat Jack Ma, orang terkaya Tiongkok, paling sering ia lontarkan adalah, nasihat soal tahapan usia yang harus dilakukan anak muda  agar mereka bisa berhasil. Ketika seseorang berusia 20-30 tahun, harus bekerja dan memiliki petinggi/atasan yang baik. Sebab, itu harus bergabung di perusahaan yang bagus untuk belajar. Nah, ketika berusia 30-40 tahun, kalau ingin melakukan sesuatu dengan sendirian, lakukan saja. Toh, masih bisa menanggungnya, jika kalah dan gagal. Setelah melewati fase umur itu, Jack Ma menyarankan agar mementingkan kestabilan hidup, apalagi dalam keluarga dan masa depan. Di usia 40-50 tahun, saatnya melakukan sesuatu yang baik di bidang yang dikuasai. Jika sudah 50-60 tahun, barulah habiskan waktu melatih diri dan mengembangkan generasi muda. Dan kalau sudah 60 tahun ke atas, sudah saatnya menikmati hidup saja. Dari nasihat Jack Ma, disimpulkan pentingnya membangun pengalaman sejak muda. Saat masih duduk di kampus inilah waktu yang paling tepat melakukannya. Baik, di dalam kampus ataupun luar kampus. Selagi masih menjadi mahasiswa, rajinlah mengasah hard skill dan soft skill. Meskipun itu, berbeda dengan jurusan kuliah yang diambil. Hard skill dibutuhkan dalam rangka beradaptasi terhadap teknologi, sedangkan soft skill untuk kemampuan kreativitas, kemampuan bernalar kritis, serta problem solving. Sebab, seperti disampaikan Mas Menteri Nadiem Makarim, di beberapa media, saat ini, Indonesia sedang memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompentensi. Memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, agregitasi tidak menjamin mutu, serta masuk kelas tidak menjamin belajar. Sebaliknya, sumber daya manusia yang butuhkan adalah; dia bisa apa, sukses apa, dan karakter seperti apa.(*)
*Pemimpin Redaksi Bengkulu Ekspress

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: