Transfer Daerah dan Dana Desa Melambat di 2020

Transfer Daerah dan Dana Desa Melambat di 2020

\"\"

JAKARTA, Bengkulu Ekspress- Dalam RAPBN 2020, belanja negara direncanakan akan mencapai Rp2.528,8 triliun atau naik sebesar 7,99 persen dari Outlook 2019. Meskipun demikian kualitas belanja negara cenderung memburuk dalam RAPBN 2020, seperti proporsi modal yang cenderung menurun. Belanja modal dalam RAPBN 2020 hanya 11,2 persen atau turun dibandingkan Outlook 2019 yang sebesar 11,4 persen.

Di sisi lain, terjadi kenaikan belanja non produktif yakni belanja non kementerian/lembaga (K/L) sebesar 16,8 persen, sementara belanja K/L hanya naik sebesar 3,47 persen dan belanja transfer ke daerah dan dana desa sebesar 5,45 persen dibandingkan Outlook 2019. Melihat besaran belanja negara dalam RAPBN 2020, lantas apakah proporsi belanja negara ini sudah tepat dan mampu memperbaiki kinerja perekonomian?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencoba menganalisis soal transfer ke daerah dan dana desa dalam APBN 2020. Peneliti Indef, Rusli Abdullah mengatakan, secara angka, jumlah transfer daerah dana desa mencapai 34 persen dari total belanja atau Rp858 triliun. Angka ini meningkat sekitar Rp45 triliun bila dibandingan denga Outlook APBN 2019. \"Apabila melihat pertumbuha dana transfer daerah dan desa tersebut sejak 2015, maka diperoleh gambaran bahwa tren pertumbuhannya melambat,\" ujar dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu 25/8).

Mengenai pemerintah menyampaikan bahwa dana transfer daerah dan dana desa dimaksdukan untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan antar daerah, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menurut dia tidak akan berjalan dengan optimal.

\"Kenapa tidak optimal? Karena saya melihat usaha tersebut tidak akan optimal apabila belanja transfer daerah dan dana desa dilakukan secara sporadis. Yang dimaksud sporadis di sini adalah tidak ada koordinasi antara transfer daerah dan dana desa, serta antara transfer daerah dan dana desa dengan belanaj K/L pusat,\" papar Rusli.

Dia mengilustrasikan, Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Koperasi UMKM (Kemenkop) memiliki belanja program. Misalnya, Kemensos program keluarga harapana (PKH) dan Kemenkop memiliki belanja program peningkatan usaha kecil dan menengah (UKM) di sebuah locus desa A. Sedangkan pemerintah kabupaten/provinsi memiliki program kegiatan di desa A tersebut. Di sisi lain, dalam desa A tersebut terdapat program dana desa.

\"Nah, program tersebut tidak saling kadang tidak saling terhubung, tidak mendukung satu sama lain atau berjalan sendiri-sendiri. Jadi tidak saling terkait dan melengkapi,\" jelas dia.

Oleh karena itu, menurut Rusli saling koordinasi antara lembaga terkait sangat dibutuhkan demi optimalnya belanja daerah guna menggeliatkan perekonomian nasional. \"Jadi seberapapun besar dan banyaknya anggaran transfer daerah dan dana desa, apabila tidak ada unsur kolaborasi, tujuan dari transfer daerah dan dana desa tidak akan optimal, bahkan bisa gagal dalam mencapai tujuannya. Saya kira itu poin penting yang ada dalam APBN 2020. Anggaran transfer daerah dan dana desa berbasis lokus dan kolaborasi antar kementerian atau program,\" papar dia.

Sementara Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti menyoroti terkait masih gemuknya K/L, dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia (26 Kementerian), Thailand (19 Kementerian), Singapura (16 Kementerian), dan Vietnam (16 Kementerian). Dia mengatakan, belanja pemerintah pusat K/L dibagi sebanyak 87 Bagian Anggaran K/L, terdiri dari 34 kementerian, termasuk empat kementerian koordinator dan 53 lembaga. \"Gemuknya Jumlah kementerian kita tentu berimplikasi inefisiensi anggaran belanja pemerintah pusat. Akibatnya pemerintah terjebak untuk akan menggunakan belanja negara lebih banyak untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan,\" ujar dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (25/8).

Karenanya, pemerintah harus membenahi jumlah K/L yang terlalu gemuk karena malah menjadi penghambat roda perekonomian nasional. \"Jumlah kementerian harus dibuat berdasarkan fungsi bukan sekadar pembagian kursi. Harus ada tugas pokok dan fungsi yang jelas antar kementerian dan lembaga negara, agar tidak tumpang tindih peran dan fungsinya,\" pungkas dia.(din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: